Judul: Pohon Cemas
Judul Asli: The Worry Tree
Penulis: Marianne Musgrove
Penerjemah: Dini Andarnuswari
Penerbit: Atria
ISBN: 978-979-1411-56-1
Tebal: 122 halaman
Tahun terbit: November 2008
Cetakan: Kesatu
Genre: Fiksi Anak
Rating: 3/5

Setiap kali Juliet merasa cemas, kulitnya akan terasa gatal dan muncul ruam. Ia menjadi mudah suntuk dan merasa terbebani. Sayangnya akhir-akhir ini, ada banyak hal yang membuat Juliet cemas.

Misalnya saja Oaf, adiknya yang suka iseng, sering sekali membuat ulah yang menyebalkan. Belum lagi orangtua Juliet yang sedang sering bertengkar dan neneknya yang mudah marah-marah. Juga teman-temannya, Gemma dan Lindsay, yang saling berebut persahabatan dengannya.

Lengkaplah sudah masalah yang dihadapi Juliet. Ruam di kulitnya semakin sering saja muncul.

Juliet kemudian menemukan sebuah gambar di balik wallpaper kamarnya. Sebatang pohon dan enam hewan yang bertengger di setiap cabangnya. Ternyata itu dulu gambar yang dipasang oleh neneknya sewaktu kecil. Wah, sudah lama sekali, ya!

Nenek Juliet menyebutnya pohon cemas karena, setiap kali merasa cemas, neneknya akan ‘curhat’ kepada pohon cemas. Juliet pun akhirnya mengikuti cara neneknya untuk menjadikan pohon cemas dan hewan-hewan tersebut sebagai temannya.

Suatu ketika, Dad dan Mum, orangtua Juliet, bertengkar hebat gara-gara Dad belum membereskan barang-barang bekas miliknya yang teronggok di lorong rumah. Barang-barang itu dulunya berada di kamar Juliet yang sebelumnya merupakan ruang kerja Dad.

Selain itu, Oaf dan Juliet sedang heboh-hebohnya bertengkar, tidak mau menuruti perintah Mum. Pecahlah amarah Mum yang akhirnya merembet pada hal-hal lain. Juliet merasa ini semua salahnya. Bagaimana, ya, cara Juliet menyelesaikan masalah itu?

Efek Psikologi bagi Anak

Novel The Worry Tree alias Pohon Cemas ini memiliki banyak sekali pesan yang bisa dipetik oleh setiap keluarga, terutama tentang psikologi anak dan interaksi sosial antara anggota keluarga. Saya merasa mengupas substansinya lebih penting dibandingkan hanya ulasan biasa.

Kalau melihat dari sisi tokoh utamanya, Juliet, seorang anak usia SD yang cukup kritis dan cerdas, kita bisa memahami bagaimana efek psikologis situasi rumah tangga terhadap anak-anak.

Ketika anak mendengar atau melihat orangtuanya bertengkar, meskipun bagi orang dewasa itu hanyalah perdebatan mulut semata, umumnya anak akan merasakan cemas dan khawatir bila kata-kata ‘cerai’, ‘perpisahan’ dan sejenisnya tercetus dari bibir orangtua mereka.

Contohnya seperti yang dialami Juliet. Ia sangat khawatir jika Dad dan Mum mulai mempersoalkan hal-hal yang tidak sejalan karena Juliet tahu akan ada pertengkaran setelah itu. Ini menjadi semacam momok bagi anak.

Selain itu, kita juga bisa belajar tentang sikap sebuah keluarga ketika menghadapi perubahan. Bahwa dibutuhkan pilihan-pilihan yang bijaksana untuk dijadikan solusi atas perubahan yang terjadi. Kalau di novel ini, perubahan yang mereka alami adalah masalah pergantian ruang kerja Dad menjadi kamar Juliet yang dadakan.

Juliet ingin sekali memiliki kamar sendiri, tidak tidur bersama Oaf yang usil lagi, tetapi solusi atas dampak dari perubahan itu haruslah tepat agar masalah-masalah tidak muncul setelahnya.

Contoh lainnya adalah masalah neneknya Juliet yang masih belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaannya yang sudah tua. Di sinilah sebuah keluarga dituntut agar tanggap terhadap variabel perubahan. Hal-hal seperti perubahan ini tentu banyak kita alami di dunia nyata. Beda kasus pasti beda penanganannya.

Poin-poin tentang pelajaran untuk keluarga inilah yang menurut saya menjadi salah satu kelebihan dari novel The Worry Tree.

Titik Kritis Novel The Worry Tree

Yang menjadi poin kritis saya atas buku ini adalah ide tentang pohon cemasnya yang dijadikan judul utama. Di novel ini diceritakan bahwa setiap kali Juliet merasa cemas, ia akan mencurahkan kecemasannya kepada pohon cemas, kemudian menceritakan uneg-unegnya kepada gambar hewan-hewan yang bertengger di pohon tersebut.

Akibat dari aktivitas ini, Juliet merasa hewan-hewan di pohon cemas itu mengerti apa yang dirasakannya. Menurut saya, konsep pohon cemas ini berpotensi mengarahkan anak-anak berimajinasi yang berlebihan, dan sebaiknya tidak untuk ditiru. Mengapa?

Anak-anak membutuhkan tempat atau media untuk mencurahkan keluh kesahnya, kecemasannya, uneg-uneg atau masalahnya. Dalam hal ini tentu saja alangkah lebih baik jika tempat atau media itu adalah orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama orangtua.

Orangtua ibarat pusat tata surya di dalam rumah. Merekalah titik pusat ke mana setiap anggota keluarga akan mengarah. Anak-anak yang menjadikan orangtuanya sebagai teman dan media untuk mencurahkan perasaannya akan memiliki hubungan yang sangat berkualitas. Bayangkan bila anak-anak Anda lebih dekat dengan pohon cemas ketimbang orangtua, apa jadinya?

Secara karakter, hal ini juga rasanya kurang baik bagi perkembangan anak. Pohon tetaplah pohon. Gambar tetaplah gambar. Menjadikan gambar atau benda lainnya sebagai media curhat anak lambat laun akan mengarahkan anak kepada imajinasi tentang teman khayalan.

Anak akan memiliki dunianya sendiri yang akan sulit dimasuki orangtua. Iya kalau hanya sebatas curhat belaka. Siapa yang bisa menjamin jika suatu saat kelak anak tidak akan meminta sesuatu melalui pohon cemas? Yang seperti ini, menurut buku Misteri Alam Ghaib, bisa menjadi celah yang rawan disusupi jin ataupun syaitan dan tentunya akan berdampak negatif bagi anak-anak.

Jika tidak ada orangtua sebagai media karena alasan-alasan tertentu, anak juga bisa menjadikan teman-temannya atau orang-orang dewasa lainnya yang terdekat sebagai media bersosialisasi terkait masalah yang mereka hadapi.

Contohnya seperti yang ada di novel The Worry Website karya Jacqueline Wilson, di mana setiap siswa bisa mencurahkan uneg-uneg atau masalahnya di sebuah situs yang dimediasi oleh orang dewasa.

Masalah mereka bisa ditanggapi oleh teman-temannya tanpa perlu tahu siapa orangnya. Atau dalam bentuk buku harian dan semacamnya. Ada banyak model yang lebih baik sebagai pilihan.

Jika yang lain pun tidak ada sebagai tempat meluapkan perasaan dan masalah, masih ada Allah yang bisa menjadi pilihan. Tentu akan lebih bagus lagi jika anak diperkenalkan konsep bahwa Allah adalah sebaik-baik tempat berkeluh kesah, mengadu dan memohon.

Pastinya hal ini diajarkan sesuai dengan tingkat pemahaman anak, dengan bahasa anak-anak, agar mereka dapat memahaminya dengan mudah dan menyenangkan.

Manajemen Masalah

Selain poin-poin di atas, novel ini juga mengajarkan kepada orangtua untuk bisa memberikan pemahaman kepada anak terkait manajemen masalah. Bahwa tidak semua masalah itu harus dihadapi anak-anak dan menjadi beban mereka.

Terkadang anak-anak akan merasa bahwa apa yang terjadi di sekitarnya itu membutuhkan mereka untuk ikut andil. Nyatanya ‘kan tidak. Sesuaikan porsinya. Makanya menjadi penting bagi orang dewasa untuk menahan diri ketika terjadi masalah agar tidak selalu diketahui oleh anak-anak.

“Dia tak pernah berpikir ada hal-hal yang bukan menjadi masalahnya. Dia kira, semua hal adalah masalahnya, bahkan jika bukan dia yang menyebabkan masalah itu terjadi.” (halaman 103)

Anak-anak juga perlu mengalami masalah sesuai porsinya agar ia mampu menghadapinya dengan kemampuan sendiri, tidak cengeng, tidak panik dan ketakutan. Hal ini akan menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya.

Jika anak selalu dilindungi dari masalah, selalu dibiarkan terhindar dari konflik, ini juga kurang baik untuk perkembangan mentalnya. Di sinilah pentingnya manajemen masalah bagi anak.

Sementara semua orang mondar-mandir untuk mengambil lilin dan kue, Juliet menangkap sekilas bayangan dirinya sendiri dalam cermin: tak ada plester melekat di jadi-jarinya, tak ada ruam menyebar di wajahnya, dan tak ada garis V menetap di antara alisnya.

Yang ada hanya seorang anak perempuan berpostur sedang dengan rambut cokelat sedang, kaki berukuran normal, dan senyum yang sangat lebar. “Aku adalah seseorang yang mampu,” katanya pada diri sendiri. “Aku adalah seseorang yang mampu menangani masalah apa pun.”

(halaman 110)

Sebenarnya masih banyak lagi hikmah lainnya yang bisa kita cuil dari buku ini. Yang saya paparkan di atas hanyalah sebagian saja yang menurut saya penting untuk diulas, terutama poin kritis yang saya tidak sependapat.

Semoga ulasan saya ini tidak membosankan Anda dan tidak terlalu dianggap sebagai spoiler hehe.

*Ulasan ini diikutsertakan pada Proyek Battle Challenge #31HariBerbagiBacaan