perempuan merah dan lelaki haruJudul: Perempuan Merah & Lelaki Haru
Penulis: FLP Malang
Penerbit: Ide Kreatif
ISBN: 978-602-18126-3-1
Tebal: 158 hal
Dimensi: 14,5 x 20,5cm
Tahun terbit: November 2012
Cetakan: ke I
Genre: Fiksi – Cerpen
DDC: 813
Rating: 4/5

Sudah menjadi ciri khas yang sulit dibantah ketika para anggota FLP menelurkan karya fiksi mereka. Entah bagaimana cara mereka menulis, tetapi setiap kali saya membaca karya-karya mereka, selalu saja kesan mendalam berhasil terpatri di dalam hati saya. Karya-karya fiksi mereka memang khas, itulah yang juga saya rasakan dari buku kumpulan cerita pendek berjudul “Perempuan Merah & Lelaki Haru” ini. Dari sampulnya saja, yang didesain sederhana namun tetap elegan, saya sudah bisa merasakan kesan yang mendalam itu, apalagi ketika membaca isinya, luar biasa.

Buku ini berisi 15 cerita pendek yang ditulis oleh 11 orang anggota FLP Malang, yang karyanya sebagian besar pernah diterbitkan di surat kabar berbagai kota, majalah, dan bahkan memenangkan lomba kepenulisan tingkat provinsi dan nasional. Saya rasa bukan isapan jempol semata jika saya menyebut karya-karya di dalam buku ini adalah karya berkualitas, sebab karya itu sendiri telah membuktikannya. Selain berkualitas, cerpen-cerpen yang ada di dalamnya juga kaya akan ide. Anda akan menemukan beragam tema yang diramu secara kreatif dengan karakter yang berbeda-beda pula. Inilah yang coba disampaikan para penulis secara tak langsung.

“The best way to get good ideas is to get a lot of ideas.”

“Jika kita senantiasa membatasi dengan satu gagasan, satu cara, dan satu kehidupan yang kita jalani, kita tidak akan pernah memperoleh hal-hal terbaik yang dapat diberikan oleh kehidupan ini kepada kita. Latihlah pikiran anda untuk senantiasa mencari banyak solusi dan alternatif. Kembangkan kreativitas dan imajinasi Anda senantiasa.”

Linus Pauling – pemenang Nobel di bidang Kimia (halaman 26)

Dibuka oleh Ai El APf dengan cerpennya yang berjudul “Perempuan Merah”, penulis berhasil membuat saya penasaran dan membaca buku ini sampai habis. Cerpen ini berkisah tentang tokoh “Aku” -tidak digambarkan secara jelas usia maupun ciri-cirinya- yang sangat membenci perempuan merah, seorang wanita baru dalam kehidupan ayahnya yang juga ia benci. Si tokoh “Aku” diceritakan sedang bercerita kepada adiknya yang sudah meninggal bernama Dullah. Emosi dan pergulatan batinnya terhadap perempuan merah begitu terasa, sangat kuat. Kebenciannya, kesedihannya, serta konflik yang ia ciptakan juga sangat nyata terasa. Saya suka sekali cerpen ini, meski berakhir tragis dan ditutup secara bengis oleh api.

Cerpen lain yang saya suka adalah “Di Balik 102 Tahun Pak Sinden” karya Ummu Rahayu. Berkisah tentang seorang lelaki tua dengan tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaannya yang ‘aneh’ dan menarik perhatian Ulfah, seorang mahasiswi yang nge-kos di depan rumah pak Sinden. Nama sebenarnya bukanlah pak Sinden. Ulfah yang memberinya nama itu karena lelaki tua itu selalu mengumandangkan azan dengan nada sinden. Di lain waktu pak Sinden suka bercerita tentang masa mudanya dan selalu menggembar-gemborkan usianya yang sudah 102 tahun. Terkadang ia tertawa khas “Hahaha” atau “Hehehe”, kadang tak terdengar suara apa pun dari rumahnya. Ia kerap menyanyikan lagu Jawa, terkadang sambil menyapu halaman. Di malam hari, suasana sakral begitu terasa lewat kidung yang selalu ia lantunkan, diiringi suara melengking seperti suara elang. Sangat misterius. Cerpen ini berhasil membuai rasa penasaran saya. Penulis menceritakan kebiasaan-kebiasaan tokoh “Pak Sinden” dengan sangat detail dan berkarakter kuat. Tak disangka, cerpen ini ditutup dengan cerdas hanya oleh dialog Ulfah dan temannya yang bernama Neni, hingga terkuak siapa sebenarnya pak Sinden yang selalu membuat Ulfah penasaran dan rindu ingin melihatnya.

Selain tema keluarga dan sosial, buku ini juga menyuguhkan cerpen bertema psikologi. Cerpen “Sepenggal Janji” karya Maulida Azizah misalnya, berkisah tentang seorang anak dengan keterbelakangan mental yang tidak diharapkan ayahnya -sering dimarahi, dipukuli, dan tidak dipedulikan. Ia ingin memenuhi janjinya kepada seorang pencopet cilik. Pencopet cilik itu terpaksa mencopet karena membutuhkan uang 35 juta untuk operasi kanker ayahnya. Lalu tokoh “Aku”, dengan ketulusan hati seorang anak berketerbelakangan mental, mencuri uang dari tas ayahnya. Ia tidak tahu seberapa banyak uang 35 juta itu. Yang ia tahu, ia sudah mengambil 35 lembar uang merah, dan itu pastilah berjumlah 35 juta pikirnya. Tapi karena ketahuan oleh sang ayah, “Aku” akhirnya dihukum dan tidak boleh keluar rumah. Esoknya ia berhasil kabur dengan 35 lembar uang merah tersebut. Tapi sayang, ketika uang itu sudah didapatkan si pencopet cilik, ayahnya sudah meninggal. Mereka terlambat.

Teman barunya itu, si pencopet cilik, begitu bersedih hati sepeninggal ayahnya. “Aku” ingin membantunya dan membuatnya gembira, lalu ia bertanya,

“Sebenarnya apa yang paling kau inginkan di dunia ini? Biar kupenuhi semua itu!”

“Rasanya aku ingin mati saja Kak! Aku merasa sangat hampa tanpa ayah!” tiba-tiba tangismu kembali pecah. “Aku ingin mati saja!”

(halaman 119)

Lagi-lagi, penulis berhasil mengambil sisi ketulusan hati seorang anak dengan keterbelakangan mental. Tokoh “Aku”, yang telah berjanji pada temannya untuk melakukan apa saja agar ia bahagia, kemudian mengakhiri hidup pencopet cilik. Cerita ini berakhir di Rumah Sakit Jiwa, tragis dan sedih. Meskipun begitu, saya dapat merasakan ketulusan hati seorang anak dengan keterbelakangan mental yang hanya ingin memenuhi janjinya.

Cerpen lainnya yang juga sangat saya suka adalah “Bocah Pasir Brantas”, “Gelar di Atas Batu Nisan” dan “Ode Sebuah Perjalanan” karya Mashdar Zainal, “Adik Bela & Bola” karya Nur Muhammadian, “Laptop Tahun Baru” karya Fahrul Khakim, dan “Kerasukan” karya Mahbub Ul Haq.

Sebenarnya semua cerpennya saya suka dan meninggalkan kesan yang mendalam, namun beberapa di atas adalah yang paling membuat saya terkesan, terenyuh, menangis, bahkan menahan napas. Saking terkesannya, saya penasaran, bagaimana bisa mereka menulis cerpen sebagus itu? Kalimat-kalimatnya nyastra, penokohannya kuat, emosinya dapat, pemaparan latar sangat detail, serta maknanya mendalam. Ternyata jawabannya ada di setiap lembar proses kreatif setelah cerpen ditulis. Ya, buku ini juga dilengkapi dengan lembar proses kreatif penulisan cerpen. Selain bisa menikmati cerpennya, pembaca juga bisa mengetahui bagaimana para penulis itu menjalani proses kreatif menulis cerpen. Secara tak langsung buku ini bisa menjadi sarana belajar menulis, terutama fiksi. Saya bahkan mendapatkan tips menulis yang baru saya ketahui, yaitu dengan menggunakan otak kanan dan otak kiri.

“Pertama kita tulis apa yang ada di kepala kita. Semuanya! Tidak perlu memperhatikan EYD, alur, dan apa pun itu yang bisa mengganggu konsentrasi kita. Kalau perlu warna font bisa kita ubah menjadi putih.
Baru setelah itu, setelah kita diamkan, otak kiri mulai bekerja. Otak kiri bertugas meneliti salah ketik, alur tidak teratur, konflik kurang, dan lain-lain.”

“Proses mendiamkan naskah, bagi saya sangatlah penting. Mengapa? Karena membaca naskah tepat setelah kita menuliskannya akan membuat ego kita tinggi, rasa suka dan bangga terhadap naskah sangat besar, jadi sulit bagi kita untuk bersikap obyektif.”

Fauziah Rachmawati dalam Proses Kreatif Laung Mudigah (halaman 101)

Secara keseluruhan, saya sangat menyukai buku ini, maka tak salah bila saya memberi bintang 4 dari skala 5. Hanya kertasnya saja yang sedikit tipis menurut saya, dan sedikit kesalahan penulisan, tapi itu bukan masalah. Bagi para penikmat fiksi, terutama cerita pendek, buku ini layak punya. Salut!

“Jasad boleh rapuh dan mati, tapi apa-apa yang kutorehkan lewat pena akan menjadi mantra yang membaluriku dalam hidup abadi.” (cerpen “Ode Sebuah Perjalanan” – halaman 137)

***

buntelan buku dari mbak Fauziah Rachmawati

buntelan buku dari mbak Fauziah Rachmawati

Buku ini datang sepaket dengan buku “Pendidikan Seks untuk Anak Autis“, hadiah dari mbak Fauziah Rachmawati. Senangnya saya mendapatkan buku ini, sebab sebelumnya saya sudah membaca sebagian cerpen yang ada di dalamnya dalam bentuk buku elektronik. Cerpen-cerpen mereka bagus-bagus. Kebetulan pak Nur Muhammadian yang juga member FLP Malang, pernah meminta saya lewat Pustaka E-Book untuk membuat versi digital dari buku ini yang berisi sebagian cerpen saja. E-book tersebut dibagikan gratis. Anda bisa mengunduhnya di sini sebagai sampel. Terima kasih, Mbak!

NB: Kabarnya buku ini belum didistribusikan ke toko-toko buku karena diterbitkan secara indie. Bagi yang ingin mendapatkan buku ini, info pemesanan bisa langsung ke Fauziah di 085649505617. Harganya Rp. 40.000.