meremehkanjanjiJudul: Meremehkan Janji
Penulis: Muhammad Musa asy-Syarif
Judul Asli: Zhaahirat at-Tahaawun bil-Mawaa’iid: al-Asbaab, al-musykilaat, al-‘ilaaj
Penerjemah: Abdul Hayyie Al Kattani dan Taqiyuddin Muhammad
Penerbit: Gema Insani Press
ISBN : 979-561-865-2
Tebal: 92 hlm
Dimensi: 18 cm
Tahun terbit: 2004
Cetakan: Kedua, Mei 2006
Genre: Agama Islam – Adab dan Akhlak
Rating: 4/5

Zaman sekarang, makna janji telah dipersempit secara tak langsung menjadi sesuatu yang dianggap sepele, bahkan cenderung hanya sebagai basa-basi penghias bibir bagi sebagian orang. Mereka sering menyia-nyiakan janji, dan parahnya lagi, mereka merasa tidak melakukan sebuah kesalahan atau merasa malu saat janji tersebut dilanggar atau tidak ditunaikan, bahkan seringnya menjadi kebiasaan buruk. Padahal, baik buruknya hubungan antar individu juga dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya sebuah janji. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi saat orang-orang sholeh dahulu begitu menghargai arti sebuah janji. Bagaimana sebenarnya perkara janji ini hingga disebut-sebut sebagai pengikat persatuan?

Bagi sebagian kita barangkali pernah mengalami sebuah pengingkaran janji. Ketika seseorang menanyakan kesediaan kita untuk datang, misalnya, maka seketika itu juga kita meng-iya-kan, tetapi faktanya di dalam hati kita tidak ada sedikit pun niat untuk datang. Maka, menurut kitab al-Ihya imam al-Ghazali, bahwa hal seperti ini adalah sebuah kedustaan.

“…mengingkari janji dikatakan dusta jika hal itu dilandasi oleh niat awal untuk tidak memenuhinya. Sedangkan jika sebelumnya berniat untuk memenuhi janji, kemudian pada saatnya ia dapati dirinya tidak dapat memenuhi janji itu, maka hal itu bukanlah dusta.” (halaman 16)

Kasus lain yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu saat jadwal pertemuan. Ketika seseorang terlambat dari jadwal yang ditentukan walau hanya semenit saja, maka ia sudah membuat waktu orang yang menunggunya terbuang sia-sia dan mengacaukan jadwal pekerjaan mereka, seperti sebuah ungkapan peribahasa Arab,

“Al-intizhaar aharru min an-naar (menunggu lebih panas daripada api)” (halaman 64)

“Dewasa ini, Anda melihat banyak orang yang mengaku dirinya muslim lebih pendusta dalam bicara, lebih tidak menepati janji, dan lebih menyia-nyiakan amanah dibanding orang-orang yang bukan muslim. Sampai-sampa lahir istilah ‘janji Timur’ untuk janji yang dilanggar atau tidak tepat waktu. Dan, kalau seseorang ingin menguatkan janjinya, maka harus mengatakan bahwa janjinya ‘janji Eropa’.” (halaman 74)

Sungguh, kondisi seperti ini sangatlah miris. Berangkat dari keprihatinannya atas kondisi umat yang sangat meremehkan janji inilah, Muhammad Musa asy-Syarif kemudian menuliskan dan menjelaskan banyak sekali aspek-aspek yang berkaitan dengan janji di dalam buku ini, mulai dari pengertian hingga solusi permasalahan atas persoalan yang timbul dari sebuah janji secara detail menurut pandangan Islam.

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’:34)

Islam sebenarnya sudah mengatur etika sosial terkait memenuhi janji ini dengan sangat rinci di dalam al-quran maupun hadits nabi. Tidakkah kita mengetahui bahwa jika kita melaksanakan sholat sebelum masuk waktunya, meski satu detik saja, maka sholat kita tidak sah? Atau saat berpuasa di bulan Ramadhan, sahkah puasa kita bila berbuka sebelum masuk waktunya, meski hanya sedetik saja? Tentu saja tidak. Islam tidak mengenal janji karet, melainkan janji-janji dengan waktu yang tepat sebagaimana waktu sholat. Hal ini menjadi bukti bahwa hakikat pelaksanaan ibadah itu adalah janji kita kepada Allah Ta’ala yang tidak bisa ditawar-tawar.

Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengungkapkan pentingnya memenuhi sebuah janji, bahkan beliau sangat menghargai waktu hingga ke detik-detiknya. Padahal di masa itu, jam dengan menit dan detik belumlah ada. Di dalam hadits yang cukup masyhur, nabi menekankan urgensi janji:

“Tanda orang munafik ada tiga, yakni jika berbicara ia berdusta, jika diberikan amanat dia berkhianat, dan jika berjanji ia tidak memenuhinya.” (HR. Bukhari)

Apa saja sebenarnya faktor penyebab seseorang tidak memenuhi janjinya? Dan apa dampak yang akan timbul dari pelanggaran sebuah janji, baik di dunia maupun akhirat? Anda akan menemukan jawabannya di dalam buku ini. Bahkan, buku ini juga menceritakan berbagai kisah ulama-ulama masa kini, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahulla, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, atau ulama-ulama lainnya, yang sangat menghargai waktu dan janji.

Saya sendiri merasa malu dan tertohok saat membaca buku ini, sebab apa yang dipaparkan penulis terkait kondisi kekinian sangatlah benar adanya. Saya menjadi semakin termotivasi ketika membaca kisah-kisah ulama besar yang sangat disiplin dan menghargai waktu, juga begitu taatnya terhadap janji serta konsekuensi berat di baliknya.

“Meremehkan Janji” adalah buku yang sangat bagus bagi orang-orang yang ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik, memperbaiki etika terhadap janji, serta bagi mereka yang ingin memperoleh kebaikan. Buku ini, meski berisi ilmu yang padat, namun ia terasa ringan dibaca, seringan ketebalannya yang tipis dan bisa dibaca sekali duduk. Saya sangat menyukai buku ini sebagai motivasi dan panduan.

“Karena itu, kapankah datangnya hari di mana kita akan berbicara dengan ucapan-ucapan yang dapat dipegang, berjanji dengan sejujur-jujurnya; hari di mana kehidupan kita dibina agar saling mengingati untuk mentaati kebenaran, sehingga seorang yang dicalonkan untuk menjadi wakil rakyat di parlemen tidak akan berjanji, kecuali memang bermaksud memenuhi janji-janjinya ketika ia telah sampai di kursi parlemen.” (halaman 36)