Judul : Perjumpaan dengan Pengkhianat
Penulis : Penulis Amerika Latin
Penerjemah : Tia Setiadi
Jumlah halaman: 212 hlm
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : Januari 2017
ISBN : 978-602-391-356-5
Genre: Fiksi, Cerpen
Rating: 3/5

Bagaimana jadinya bila seorang tentara bertemu kembali dengan temannya yang pengkhianat setelah berpisah berpuluh tahun yang lalu di ruang persidangan? Barangkali ada banyak emosi dan rasa yang berkecamuk di dada, seperti yang dirasakan oleh si lelaki, tokoh utama kita di dalam cerpen yang menjadi judul buku sepilihan cerita pendek ini.

Iya, sesuatu yang belum rampung dan menyisakan dendam acapkali bangkit menyeruak dari pikiran, menendang-nendang benak, menyulut kembali kebencian dan kemarahan. Begitulah yang dialami olehnya saat melihat, mengikuti dan mengejar lelaki bertongkat mantan pengkhianat bangsa di suatu tempat.

Ingatannya terbang ke masa puluhan tahun silam ketika mereka berperang, berupaya bertahan dari pembantaian ratusan ribu tentara, juga saat mereka berkelahi dan berhadapan di depan pengadilan militer.

Kini, mereka bertemu kembali, pada zaman yang berbeda. Bagaimana rasanya bertemu muka dengan seorang pengkhianat yang telah mengkhianatimu dan ratusan ribu rekanmu?

Augusto Roa Bastos, seorang cerpenis asal Paraguay yang dikenal lewat karya fenomenalnya Yo el Supremo tentang pemimpin tangan besi Paraguay selama 26 tahun, mengawali buku ini lewat cerpen “Perjumpaan dengan Pengkhianat” dan berhasil memunculkan sensasi mengejutkan dan tak terduga pada karyanya.

Seperti api yang disiramkan air, engkau tak bisa berkata-kata dengan alur yang diberikannya, ketika mengetahui bagaimana kelanjutan dari si lelaki yang bertemu dengan pengkhianat itu.

Belum cukup dengan keterkejutan di cerpen pertama yang berbau politik, barangkali engkau pun akan bertanya-tanya tentang revolusi sosial yang dilakukan para tanaman pada cerpen “Mengapa Ilalang Berlubang” karya Gabriela Mistral, pengarang Amerika Latin pertama yang menerima Hadiah Nobel Kesusastraan, yang potret wajahnya tertera pada uang lima ribu peso Chile.

Dalam kisahnya, sang ilalang yang menjadi pemimpin, bersama mawar, jagung dan tanaman lainnya berusaha bertumbuh setara, agar sama tingginya dengan puncak biru ekaliptus si pohon keras, apapun yang terjadi. Keangkuhan terkadang tak ambil peduli pada kemanfaatan.

“Jadi begitulah, wahai Manusia. Cantiklah bunga violet karena kekecilannya dan pohon jeruk karena bentuknya yang lembut. Cantiklah segala sebagaimana Tuhan telah menciptakannya; ek yang mulia dan jelai yang rapuh.” (halaman 40)

Seperti halnya sebuah alegori, pun kisah ilalang ini dirasa cukup mendalam pemaknaannya bagi manusia jika mereka mau menggali setiap inci hikmahnya. Ini hampir senada dengan pemaknaan hidup yang dilakukan oleh Juan Bosch dalam karyanya yang berjudul “Jiwa Indah Don Damian”, tentang sejumput jiwa yang berusaha melepas tentakel-tentakelnya dari pembuluh darah sang majikan, lantas keluar untuk melihat segala hal yang tidak bisa terlihat sebagaimana yang terlihat sebelumnya.

Yang licik terlihat jujur. Yang rakus terlihat rendah hati. Jiwa akhirnya menjadi muak karenanya. Akankah ia kembali menancapkan tentakel itu ke pembuluh majikannya? Cerpen yang begitu sarat makna.

Buku Perjumpaan dengan Pengkhianat ini adalah sekumpulan cerita pendek karya para penulis Amerika Latin yang sebagian besar namanya kurang familiar bagi saya. Ada yang saya kenali, seperti Gabriel Garcia Marquez atau Isabel Allende yang karya-karyanya sudah sangat dikenal, tetapi selebihnya adalah nama baru bagi saya.

Padahal, sederetan cerpenis ini memiliki berbagai latar belakang politik, sosial, dan budaya yang cukup kompleks diikuti prestasi yang tak biasa di berbagai bidang.

Sebut saja Juan Bosch, seorang cerpenis dan sejarawan. Ia juga presiden Republik Dominika pertama yang terpilih secara demokratis dalam waktu singkat. Atau Miguel Angel Asturias, seorang novelis dan jurnalis asal Guatemala sekaligus sebagai salah satu figur awal Bom Sastra Amerika Latin seperti halnya Julio Cortazar asal Argentina. Masih ada sederet nama lainnya di buku ini yang juga memiliki keistimewaannya masing-masing.

Tak hanya bertema sosial dan kemanusiaan, tetapi perselingkuhan, buasnya dunia malam, tentang keluarga, kesedihan, atau kesendirian juga turut mewarnai sepilihan cerita pendek Amerika Latin yang berjumlah empat belas banyaknya, dan tentunya menjadi dinamika tersendiri agar para pembaca tidak bosan.

Namun, di antara keempat belas cerpen tersebut, ada satu benang merah yang menjadi kesamaan mereka. Bahwa kisah-kisah tersebut memiliki ending yang tidak terduga. Setiap jawaban pertanyaanmu akan terjawab di akhir cerita, sekali lagi, secara tak terduga. Begitulah. Betapa pintarnya para penulis itu mengemas karya mereka.

Keistimewaan lainnya yang terdapat di buku ini adalah kepiawaian Tia Setiadi dalam menerjemahkan cerpen-cerpen ini. Penggunaan diksi dan struktur kalimat, yang barangkali di bahasa aslinya memang sudah indah, terasa semakin indah dan nyastra karena sentuhan sang penerjemah. Ada banyak diksi unik bertebaran di buku ini dan menambah perbendaharaan kita.

Akhirnya, membaca buku ini rasanya seperti menggali dunia baru Amerika Latin; dari Paraguay hingga negara Castro, Kuba; dari negara-negara penggila bola seperti Brazil dan Argentina hingga Meksiko di mana bisa engkau jumpai Taco dan Salsa dengan mudahnya; ada banyak rasa dan warna yang disuguhkan di sepilihan cerpen Amerika Latin ini.

“Ke mana pun kau memandang di Luvina, yang kau lihat semata tempat yang menyedihkan. Aku ingin bilang itulah tempat bersarangnya kesedihan. Senyuman tak dikenal di sana seolah-olah wajah-wajah manusia telah dibekukan. Dan, kalau kau mau, kau bisa melihat kesedihan itu kapan pun.” (sepenggal kutipan dari cerpen “Luvina” karya Juan Rulfo, halaman 102)