Judul : Membeli Batang Pancing untuk Kakekku
Penulis: Gao Xingjian
Penerjemah: An Ismanto
Jumlah halaman: 148 hlm
Penerbit: Basabasi
Cetakan: I
Tahun terbit: November 2016
ISBN: 978-602-391-318-3
Genre: Cerpen
Rating: 3/5

Unik. Itulah kesan pertama yang berhasil disuguhkan Gao lewat cerpen-cerpennya. Jika umumnya sebuah fiksi menceritakan kisah si tokoh dengan sangat terperinci lewat karakter-karakternya yang kuat dan aktivitasnya yang detail sebagai unsur utama, sedangkan lingkungan di sekitarnya sebagai hal sekunder, maka di cerpen Gao berbeda.

Gao justru menjadikan narasi latar tempat, waktu, lingkungan serta peristiwa sebagai unsur utama, bukan sekunder, yang kemudian memancing kita untuk memperhatikan dan turut mengamati. Ini kali pertama saya membaca jenis fiksi yang unik seperti coretan Gao.

Coba bayangkan, ketika sebuah peristiwa kecelakaan, mulai dari keadaan jalan, orang-orang di sekitarnya, serta bagaimana kecelakaan itu terjadi, dinarasikan dengan sangat terperinci bak waktu yang dipecah menjadi jam, menit dan detik, ternyata sensasi yang dihasilkannya sungguh jauh berbeda.

Sensasi yang bisa dirasakan pada cerpen “Kecelakaan” di mana pembaca menanti-nanti kelanjutan kisah tersebut tanpa peduli apa dan siapa. Hanya satu ide sentral yang ingin dikisahkan, yaitu kecelakaan di jalan raya pada pada waktu tertentu, tetapi Gao malah mengekspresikannya lewat narasi yang detail dan menarik.

“Membeli Batang Pancing untuk Kakekku” adalah cerpen lain yang membuat saya terkesima. Tak heran jika cerpen ini yang kemudian menjadi judul buku sepilihan cerita pendek Gao Xingjian. Di cerpen ini, kita akan turut serta di dalam pikiran sang tokoh, yaitu Aku, yang kita tidak tahu siapa ia, di mana ia tinggal, dan bagaimana karakternya.

Aku yang sudah dewasa ingin memberikan sebuah batang pancing dengan kili-kili untuk kakeknya yang suka memancing menggunakan batang bambu panjang. Sudah lama sekali sejak Aku kecil meninggalkan rumah kakek. Sekarang, ia ingin menemukan rumah lamanya itu, di mana kakek dan neneknya tinggal, di dekat sebuah jembatan dan danau.

Jalanan sudah banyak berubah. Area yang dulunya hanya ada beberapa bangunan kini telah menjadi hutan antena dengan gedung-gedung yang padat bersisian. Aku menyusuri jalan demi jalan yang bisa ia ingat. Tak satupun tanda yang bisa mengarahkan dirinya ke rumah kakek.

Padahal, batang pancing itu sudah lama ia simpan untuk hadiah kakeknya. Rasa putus asa, kerinduan, serta ingatan masa lalu yang menendang-nendang berkeluaran dari benak Aku. Di cerpen ini, saya bisa memahami perasaan Aku hanya dari kilasan-kilasan ingatan pikiran dan suara hatinya, lagi-lagi lewat penggambaran Gao yang unik.

Imagery, atau pencitraan, umum dipakai dalam sebuah fiksi sebagai bahasa kiasan untuk menggambarkan atau mewakili peristiwa, tindakan, benda atau ide sebegitu rupa sehingga indra fisik kita bisa turut merasakan. Beberapa cerpen yang pernah saya baca biasanya juga dituturkan dengan narasi yang rinci.

Namun, entah mengapa, gaya imagery Gao dalam mode bahasa naratifnya memang sangat unik dan jauh berbeda dari fiksi yang pernah saya baca. Seketika saya merasakan angin segar saat mulai membaca buku ini dan membatin, “Oh, ini tidak biasa. Ini berbeda.”

Mencecap Evolusi Fiksi dari Cerpen-Cerpen Gao

Barangkali Gao ingin menunjukkan bahwa penulisan fiksi itu terus berevolusi dengan caranya masing-masing sehingga layak disebut seni fiksi, seperti perkataannya yang saya kutip dari buku ini;

“Penciptaan fiksi pertama-tama mensyaratkan pemilihan seorang narrator, sehingga apa yang akhirnya muncul adalah bahasa naratif, dan seni fiksi terletak pada bagaimana sebuah bahasa naratif yang sesuai dapat ditemukan, dan dengan demikian menggeser plot dan tokoh konvensional ke posisi sekunder. Kendati demikian, harus ada setidaknya satu tokoh, dan cara bertutur tokoh ini merupakan kunci penciptaan fiksi.” (halaman 120)

Menurut Gao, seorang penulis perlu mencari bahasa individualnya masing-masing. Setiap karya fiksi memiliki irama dan bahasa yang berbeda, yang memiliki suara yang bisa didengar oleh penulis maupun pembacanya.

Ya, fiksi itu bersuara. Mendeskripsikan seorang tokoh tidak cukup hanya dari gambaran fisiknya yang cacat atau cantik saja, melainkan juga menuntut fokus pikirannya dan pandangan batinnya sehingga kesadaran yang dalam bisa dihasilkan dalam sebuah karya fiksi.

Inilah yang akan dinikmati oleh pembaca. Inilah yang kemudian membuat pembaca tergerak secara emosional. Dan menurut saya, apa yang dikemukakan Gao tersebut sangat masuk akal. Di dalam bukunya ini, kita bisa melihat gaya bahasa naratif Gao yang khas.

Ada lima cerpen yang disuguhkan di dalam buku ini. “Seketika” adalah yang terpanjang dan paling detail, yang juga membuat saya terkesan selain dua judul yang saya sebutkan sebelumnya. Dan buku ini sangat layak untuk dibaca oleh para penyuka fiksi atau sastra.

Ada banyak hal yang bisa digali dari coretan-coretan Gao. Bagaimana dirinya menuturkan narasi, magaimana ia sebagai narator menghidupkan tokoh cerpen lewat imagery lingkungan di sekitarnya, dan bagaimana ia sebagai seorang penulis menambatkan hati dan pikiran pembaca di dalam cerpen-cerpennya, sungguh, semua itu bagi saya adalah hal baru, tak seperti cerpen-cerpen konvensional—jika boleh saya sebut konvensional—lainnya.

Saya bukan orang dengan basis ilmu sastra, apalagi ahli. Saya hanya penikmat buku. Tapi, saya sangat menyukai karya Gao di buku “Membeli Batang Pancing untuk Kakekku” ini. Dan barangkali, Anda pun akan terpancing untuk mencecap evolusi fiksi dari cerpen-cerpen Gao di buku ini.