Judul: Blindness
Judul Asli: Ensaio Sobre A Cegueira
Penulis: Jose Saramago
Penerjemah: Tim Matahari
Penerbit: Matahari
ISBN: 9786023720453
Tebal: 488 halaman
Tahun terbit: November 2015
Cetakan: Kesatu
Genre: Distopia, Fiksi Sains
Rating: 4/5

“Kalaupun tidak dapat hidup sepenuhnya seperti layaknya manusia, setidaknya marilah kita berusaha sekuatnya agar tak hidup sepenuhnya seperti binatang.” (halaman 174)

Siapapun tak ingin menjadi buta. Tetapi, andaikan seseorang buta sekali pun, masih ada orang-orang terdekat di sekitarnya yang akan membantu. Menuntunkan jalan, menghindarkan dari potensi bahaya, atau menjelaskan keadaan sekitar adalah hal yang lazim dilakukan oleh mereka yang normal kepada penderita kebutaan.

Selain itu, masih ada orang-orang di pemerintahan yang menyediakan air bersih untuk minum, listrik, pengelolaan sampah, dan kebutuhan lainnya yang seringkali kita anggap biasa-biasa saja ternyata merupakan hal yang krusial.

“Barangkali hanya di dunia orang buta segala sesuatu akan jadi seperti apa adanya.” (halaman 188)

Bagaimana jika kebutaan adalah penyakit menular dan menjadi wabah? Siapa saja akan mengalami kebutaan dan menyebar ke ujung dunia. Bahkan para pengelola negara sekali pun akan mengalami kebutaan.

Jika sudah begini, tak akan ada yang mengambil sampah kita setiap pagi sehingga membuat timbunan sampah kotor menumpuk. Tak ada yang akan mengolah air bersih, penerangan —yah, untuk apa lagi penerangan jika tidak bisa dilihat—, juga makanan. Seluruhnya buta.

Manusia akan mulai berubah ke sifat dasarnya sebagai makhluk hidup, yakni bertahan hidup dengan segala cara. Ekstremnya, jika harus membunuh demi mendapatkan makanan, itu pun akan dilakukan oleh manusia. Jika tak bisa mencapai WC, membuang kotoran di jalanan pun sah-sah saja.

Nyaris hampir tak ada bedanya dengan hewan. Semua menjadi kacau-balau. Dan, inilah yang terjadi di sebuah negara tak bernama dalam karya Jose Saramago yang berjudul Blindness.

Kekacauan Demi Kekacauan

Dimulai dari seorang pengemudi yang mendadak buta di tengah jalan, penyakit tersebut kemudian menular ke orang kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kepada dokter mata yang memeriksa penyakit tersebut.

Orang-orang mulai mendadak buta tanpa sebab. Ketakutan kemudian mencekam seluruh isi kota. Pemerintah mulai melakukan karantina bagi para penderita kebutaan.

Sayangnya, orang buta semakin bertambah dibandingkan jumlah yang tidak buta. Gedung karantina semakin disesaki orang-orang. Para tentara penjaga, pimpinan mereka, pimpinan dari pimpinan mereka pun turut mengalami kebutaan. Tak ada lagi pasokan makanan, minuman dan obat-obatan.

Ditambah lagi sebagian penghuninya mulai berulah menunjukkan taring demi mendapatkan kebutuhan dasar. Pembunuhan dan pemerkosaan tak terhindarkan. Mayat mulai bergelimpangan. Kotoran manusia berserakan di mana-mana. Keadaan di gedung karantina akhirnya semakin kacau. Barangkali itulah neraka dunia menurut mereka.

Di tengah-tengah kondisi ini, sekelompok orang bekerjasama demi bertahan hidup; seorang dokter mata dan istrinya, gadis berkacamata hitam, lelaki tua bertampal mata hitam, bocah juling, serta lelaki buta pertama dan istrinya.

Untungnya, istri dokter tidak mengalami kebutaan. Entah apa penyebabnya, tidak ada yang tahu, hanya dia yang tidak buta. Sampai akhirnya gedung karantina itu terbakar.

Berhasilkah kelompok ini keluar? Bagaimana selanjutnya nasib mereka di tengah-tengah ganasnya manusia yang saling sikut untuk bertahan hidup? Apakah kebutaan ini bisa sembuh? Ataukah istri dokter akan mengalami kebutaan juga? Lalu, apa penyebab kebutaan mendadak itu?

Ada banyak sekali pertanyaan yang membutuhkan jawaban ketika saya mulai membaca sepertiga buku ini. Buku ini sangat keren.

“Katakan kepada orang buta, kau bebas. Bukalah pintu yang memisahkannya dari dunia. Pergilah, kau bebas. Kita bilang kepadanya sekali lagi, dan ia tidak juga pergi, tetap mematung di tengah jalan sana. Dia dan yang lainnya, mereka ketakutan. Mereka tak tahu harus pergi ke mana.

Faktanya memang lain antara tinggal di sebuah labirin rasional yang, per definisi, adalah rumah sakit jiwa, dan nekat hengkang, tanpa ada tangan atau seutas tali anjing yang memandu, ke labirin edan kota. Di sana ingatan takkan berguna, karena cuma mampu memanggil kembali citra tentang tempat-tempat, namun bukan jalur-jalur yang memungkinkan kita mencapainya.”

(halaman 319)

Blindness merupakan sebuah distopia yang idenya sangat unik dan menarik. Ketika menamatkan buku ini, saya sempat terdiam beberapa saat, merenungkan kembali makna dari cerita yang disuguhkan Saramago. Mengerikan!

Iya, mengerikan, karena setelah membacanya, saya tidak berani membayangkan jika apa yang dialami dokter mata dan teman-temannya itu terjadi juga pada diri kita. Ya Allah, semoga saja tidak.

Kritik Sosial

Membaca novel ini membuat saya menyadari banyak hal. Bahwa ide-ide dan kritik sosial yang disisipkan Saramago benar adanya.

Pertama, manusia saat ini sudah sangat terlena dari kenyamanan hidup tanpa memedulikan keberadaan orang lain yang turut andil di dalam kehidupan kita yang nyaman itu. Kita lupa bahwa untuk mengalirkan air bersih ke kran-kran di rumah kita harus ada orang yang menyaringnya agar bersih dan membuka atau menutup kran distribusi.

Sama halnya dengan pasokan listrik, harus ada orang yang mengelola jaringan-jaringan dan cadangan agar kita tetap bisa menikmati betapa nyamannya mandi dengan air hangat, betapa mudahnya memasak nasi dengan listrik, atau sekedar membaca di penerangan yang memadai. Semua itu membutuhkan mata dan keberadaan orang agar terwujud.

Kedua, bahwa kebutaan fisik tidak seharusnya diikuti dengan kebutaan hati. Inilah yang membedakan manusia satu dengan lainnya, bahkan dengan hewan. Di tengah himpitan yang sangat berat, manusia akan tampil menjadi dirinya yang sebenarnya. Tanpa berpura-pura. Jika hati buta, apatah lagi yang bisa diharapkan?

“… bahkan dalam kemalangan yang paling parah pun masih mungkin menemukan cukup kebaikan untuk sanggup menanggungkan segala kemalangan tersebut dengan sabar.” (halaman 223)

“Sebab hati yang bersamanya kita hidup dan yang mengizinkan kita hidup sebagaimana adanya.”
“Tanpa mata, hati akan jadi sesuatu yang lain. Kita tak tahu bagaimana, kita tak tahu apa itu, katamu kita mati karena kita buta.” (halaman 371)

“Dalam diri kita ada sesuatu yang tak bernama. Sesuatu itulah diri kita yang sebenarnya.” (halaman 407)

Selain pesan di atas, ada satu wacana yang cukup menggelitik. Di dunia kita saat ini, para produsen makanan instan membanjiri pasar dan supermarket dengan berbagai produk makanan olahannya. Makanan yang dikalengkan, yang diberi pengawet atau yang cepat saji barangkali akan memunculkan isu kesehatan yang cukup serius.

Ada yang pro, ada yang kontra. Tapi, keadaan seperti di negara tak bernama itu akan menuntun kita berkesimpulan bahwa makanan terbaik saat itu adalah makanan kaleng dan siap saji karena jauh lebih mudah bagi negara yang seluruh rakyatnya mengalami kebutaan.

“Namun kearifan popular cepat sekali menyebarkan ungkapan yang hingga batas tertentu tak terbantahkan, senada dengan ungkapan lain yang sudah jarang dipakai lagi, apa yang tak terlihat mata tidaklah menyedihkan hati. Sekarang orang sering bilang, mata yang tak melihat punya perut yang kuat, yang menjelaskan kenapa mereka memakan begitu banyak sampah.” (halaman 387)

Blindness ditulis oleh penulis asal Portugal yang meraih penghargaan Nobel Prize in Literature tahun 1998. Jose Saramago adalah seorang ateis. Karyanya yang berjudul “The Gospel According to Jesus Christ and Cain” bahkan mendapat kritik dari pihak gereja karena mengandung satire dan kutipan alkitab untuk menggambarkan sosok Tuhan dengan cara yang tidak tepat.

Ia juga pernah mengutuk Israel atas apa yang terjadi di Ramallah, Palestina. Novel-novelnya yang lain juga dikenal banyak mengandung kritik atas politik dan kemanusiaan.

Terlepas dari kehidupan pribadi penulis, novel Blindness ini memang sangat keren. Empat bintang saya berikan ratingnya. Novel ini juga sudah diadaptasi ke layar lebar. Sayangnya, sekuel yang berjudul Seeing belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Semoga suatu saat bisa membaca sekuelnya juga.

Peringatan: Beberapa adegan di buku ini mengandung kevulgaran yang membuat saya cukup tidak nyaman sehingga banyak yang saya skip.