Judul: Who Moved My Cheese? – Cara Cerdas Menyiasati Perubahan dalam Hidup dan Pekerjaan.
Judul Asli: Who Moved My Cheese?
Penulis: Spencer Johnson
Alih Bahasa: Juni Prakoso
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
ISBN: 979-20-2425-5
Tebal: 106 hlm
Tahun terbit: Maret 2006
Cetakan: Kesebelas (cetakan pertama Juli 1999)
Genre: Pengembangan Diri, Motivasi
Rating: 4/5
“Semakin penting arti cheese bagi Anda, semakin ingin Anda mempertahankanya.” (halaman 29)
Apa jadinya bila suatu saat, secara tiba-tiba atau perlahan, kita kehilangan cheese milik kita sendiri? Sesuatu yang sangat kita butuhkan, atau yang kita cintai, atau yang kita andalkan untuk bertahan hidup. Sesuatu yang kita kira tak akan habis atau pergi meninggalkan kita, tapi kemudian kita sadari sudah lepas dari genggaman. Apakah kita siap? Bagaimana sikap kita jika hal itu terjadi?
Who Moved My Cheese? menceritakan tentang ini semua. Tentang bagaimana sikap seseorang terhadap perubahan dalam hidup. Diceritakan dengan gaya penuturan dongeng, Who Moved My Cheese? telah mengubah cara pandang pembacanya atas perubahan dan mengubah hidup banyak orang. Seperti apa, sih, ceritanya?
Adalah Sniff (Endus) dan Scurry (Lacak), dua ekor tikus yang hidup di dalam sebuah labirin yang rumit dan luas. Di sana, di suatu tempat yang terpisah-pisah, terdapat keju-keju lezat dan beraneka ragam, yang selalu diburu oleh kedua tikus ini. Tak hanya mereka, dua kurcaci Hem (Kaku) dan Haw (Aman) juga tinggal di sana dan sama-sama berburu cheese. Setiap pagi, keempat makhluk ini sudah bangun dan bergegas mencari keju di dalam labirin, menyisir lorong demi lorong dan banyak ruangan. Kadang mereka menemukan cheese yang lezat, tapi seringnya pulang dengan tangan hampa.
Suatu ketika, mereka menemukan Station C dengan banyak sekali cheese. Sniff dan Scurry sangat senang dan mulai menggunakan Station C itu sebagai gudang cheese mereka. Begitu juga dengan Hem dan Haw yang menganggap gunung-gunung Cheese tersebut sebagai milik mereka. Bedanya, Sniff dan Scurry selalu memerhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar cheese Station C, sedangkan Hem dan Haw tidak. Hem dan Haw merasa bahwa tempat itu adalah tempat menetap mereka selamanya sehingga mereka tanpa pikir panjang memakan Cheese sepuasnya, mengundang teman-teman dan mengadakan pesta Cheese. Bagi Sniff dan Scurry yang selalu memerhatikan perubahan-perubahan kecil, mereka tidak pernah berpikir untuk menetap. Mereka tetap mencium dan melacak cheese lain di labirin itu karena mereka sadar kalau cheese di Station C suatu saat akan habis. Perkiraan mereka ternyata tepat. Cheese Station C habis. Yang tersisa di sana hanyalah keju-keju berjamur dan tak layak makan.
Hem dan Haw kebingungan ketika itu terjadi. Meskipun begitu, mereka tetap yakin kalau Cheese mereka hanya pindah sementara dan akan kembali lagi. Mereka tak mau bergerak seperti Sniff dan Scurry. Mereka menunggu … dan menunggu … sampai akhirnya tubuh mereka lemah karena lapar, barulah kemudian Haw tersadar kalau ia harus bergerak maju mencari Cheese lain. Ya, hanya Haw. Sementara itu, Sniff dan Scurry yang sejak awal sudah rajin berburu sekarang sudah menemukan Station N dengan lebih banyak cheese dibanding Station C. Bagaimana dengan Hem? Apakah ia akhirnya memutuskan mengikuti Haw atau tetap di Station C menunggu Cheese-nya kembali? Lantas berhasilkah Haw menemukan Cheese barunya?
Membaca Who Moved My Cheese? untuk yang kedua kalinya saat ini, di usia yang sekarang, terasa sangat jauh berbeda dibandingkan ketika membacanya pertama kali saat saya masih duduk di bangku kuliah. Kalau dulu, kisah yang disampaikan di buku ini terasa cukup membingungkan dan agak sulit untuk dimengerti. Saat itu saya hanya mengerti cerita perburuan keju oleh Sniff, Scurry, Hem dan Haw saja, bahwa ceritanya asyik dan mengandung pesan yang bagus tentang perubahan. Ya, hanya sebatas itu saja. Berbeda dengan sekarang. Apa yang dijelaskan di dalam buku Who Moved My Cheese? kini terasa lebih nyata, lebih mirip dengan diri saya.
Sniff, Scurry, Hem dan Haw adalah tokoh imajiner yang menggambarkan sikap-sikap di dalam diri kita masing-masing. Sniff mampu mencium adanya perubahan dengan cepat. Scurry dengan cepat bergegas mengambil tindakan atas perubahan. Haw adalah kurcaci yang baru mulai menyesuaikan diri dengan perubahan bila ternyata perubahan itu mendatangkan sesuatu yang baik bagi dirinya. Sedangkan Hem, ia menolak setiap perubahan karena perubahan akan selalu mendatangkan sesuatu yang buruk. Empat sikap ini selalu ada di dalam setiap diri manusia.
Sering kali kita enggan menyesuaikan diri dengan perubahan meskipun perubahan itu pasti terjadi dalam hidup. Alasannya lebih banyak karena takut. Kita takut gagal. Kita takut meninggalkan cheese lama kita untuk mencari cheese baru karena merasa sudah berada di zona aman. Kita sulit beradaptasi karena dinding ketakutan kita terlalu besar. Sniff dan Scurry tidak mengenal kata takut. Mereka tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Haw awalnya takut, namun kemudian ia sadar bahwa dirinya juga harus bisa beradaptasi dengan perubahan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan? Sedangkan Hem? Ia merupakan gambaran diri kita yang dilanda ketakutan sehingga akhirnya terpuruk meratapi nasib.
” … apa yang kita takutkan tidaklah seburuk yang kita bayangkan. Ketakutan yang kita biarkan berkembang dalam pikiran kita jauh lebih buruk daripada kenyataan sebenarnya.” (halaman 63)
Spencer Johnson membagi buku ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah bagian pertemuan bekas teman sekelas. Bagian kedua adalah bagian cerita tikus dan kurcaci. Lalu bagian ketiga merupakan bagian diskusi para tokoh-tokoh teman sekelas di bagian pertama, yang menceritakan bagaimana efek cerita Who Moved My Cheese? dalam kehidupan mereka.
Saya sendiri, setelah membaca buku ini untuk yang kedua kalinya, akhirnya tersadar bahwa apa-apa yang diwakilkan oleh cerita ini sudah terjadi pada diri saya. Setamat kuliah, saya memiliki cheese berupa pendidikan atau pekerjaan untuk dikejar. Namun kemudian sesuatu terjadi pada diri saya. Saya harus merelakan cheese saya tersebut dan mulai mencari cheese baru yang lebih sesuai dengan kondisi diri. Saya pun menemukannya dan merasa bersyukur atas itu karena cheese baru saya jauh lebih baik daripada cheese lama yang akan saya peroleh. Dan posisi saya saat ini, saya sadari pula, bahwa suatu saat pasti akan terjadi perubahan pada cheese baru yang saya miliki sekarang, dan saya harus siap sejak sekarang untuk mengamati perubahan-perubahan itu, lalu mulai mencari cheese baru lagi tanpa meninggalkan cheese yang sekarang. Awalnya memang saya ketakutan, tapi kemudian ketakutan itu bisa saya kalahkan seiring proses pencarian cheese. Itulah mengapa saya katakan ketika membaca buku ini untuk yang kedua kalinya terasa lebih nyata karena saya pernah dan sedang mengalaminya. Apakah Anda juga?
Buku ini ringan, tapi isinya benar-benar membuka cara pandang kita melihat perubahan dalam hidup. Saya sangat merekomendasikan siapa saja untuk membaca Who Moved My Cheese? dan mulai memutuskan untuk mengambil tindakan atas perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Kita bisa menggunakan cerita ini untuk beradaptasi dengan perubahan dan mencari cheese kita di labirin seperti pekerjaan, rumah tangga, hubungan dengan orang lain, pendidikan, atau apa saja. Jangan menjadi seperti Haw yang terlambat menyadari perubahan. Atau lebih parahnya lagi, seperti Hem, yang terpuruk dan tidak mau berubah. Mari ikuti Sniff dan Scurry mengejar cheese!
Say, “Cheese!!!” 😀
Catatan: Baca juga buku Our Iceberg is Melting dengan tema yang sama, namun dengan ruang lingkup yang lebih luas.
waw, penasaran sama buku ini. apalagi pake pendekatan lewat dongeng, jadi nggak kerasa kalo yang dibaca itu bahasan yang berat hehe. Buku ini masih terbitkah, mba?
yup, mbak, memang lebih kerasa kalau dibuat dalam bentuk dongeng. soal masih diterbitkan atau tidak, saya kurang tau juga, mbak. tapi kadang-kadang di toko buku online masih ada yang jual sih. ini ada juga yang versi Renungan Harian, berisi kalimat-kalimat renungan harian berdasarkan cerita cheese para tikus.