Judul: Ibuk
Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-8568-0
Tebal: 293 hlm
Dimensi: 20 cm
Tahun terbit: 2012
Cetakan: Pertama, Juni 2012
Genre: Fiksi Keluarga
Rating: 5/5
“Dapur ini penuh dengan jelaga. Hidup ini mungkin akan penuh dengan jelaga juga. Tapi anak-anakkulah yang akan memberi warna terang dalam hidupku. Ini hartaku. Dan kini saatnya, semua yang telah keluar dari rahimku bisa hidup bahagia. Tanpa jelaga.”
Begitulah Tinah memandang kehidupannya kini. Gadis sederhana itu telah menjadi ibuk bagi kelima anaknya. Tinah dulu tidak tamat SD. Ia harus berhenti dari Taman Siswa karena sakit menjelang ujian nasional. Setelah remaja, ia membantu neneknya, Mbok Pah, berjualan baju bekas di pasar. Di sanalah ia bertemu dengan Hasyim, seorang kenek angkot, yang kemudian menjadi suami dan ayah kelima anaknya.
Kehidupan Tinah dan sang mantan playboy tidaklah mudah, tapi mereka selalu berupaya menjalaninya dengan benar. Hasyim naik pangkat menjadi sopir angkot, sedangkan Tinah, dengan pendapatan suaminya yang tidak seberapa, sangat pintar mengelola keuangan rumah tangga. Lebih-lebih setelah kelima anaknya Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira lahir. Ia sekarang dipanggil Ibuk.
Kehidupan Ibuk dan Bapak memang tidak mudah. Angkot milik Bapak sering rusak, biaya hidup dan pendidikan anak-anak semakin banyak, rumah mereka mulai bocor di sana-sini. Tapi, Ibuk dan Bapak tetap menjalani tugasnya dengan baik. Begitu pun anak-anaknya, dengan kesadaran diri yang tinggi selalu membantu Ibuk membersihkan rumah, menyapu, mengepel, melap kaca, mencuci, semua dilakukan karena mereka paham dengan kondisi orangtuanya. Hanya Bayek yang cukup rewel di antara anak-anaknya. Satu-satunya anak lelaki mereka. Meskipun rajin, tapi Bayek sangat manja pada Ibuk. Ia selalu menemani Ibuk di dapur. Terkadang Bayek merajuk, ingin ini itu, minta ini itu.
Ibuk selalu punya jawaban-jawaban untuk pertanyaan anak-anaknya. Uang SPP, sepatu jebol, baju yang sudah jelek, dan lain sebagainya. Ibuk juga selalu konsisten membagi rata semua makanan yang ada di dapur, menjatah dengan adil mulai dari jajanan pasar, odol gigi, sabun, sampo, dan tetek bengek lainnya seperti penggunaan listrik, air, hingga sepatu dan baju sekolah anak-anaknya. Semuanya dibagi rata. Adil. Dan karena kelihaian Ibuk inilah, ia pelan-pelan bisa menabung sisa-sisa uang belanja untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Anak-anak Ibuk tidak boleh sama seperti Ibuk, harus sekolah yang tinggi, biar pintar, biar hidup senang. Begitulah pikirnya.
“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat! Buatlah pijakanmu kuat.” (halaman 60)
“Ibuk membagi rata untuk semua anak. Ia memastikan tidak ada yang berebutan dan bertengkar gara-gara tidak kebagian atau kurang. Ibuk sendiri tak jarang harus mencampur nasi goreng dengan nasi putih. Keindahan berbagi yang akan dibawa anak-anak ketika dewasa. Bukan hanya nasi goreng, mereka juga berbagi hati.” (halaman 96)
Anak-anak sekarang sudah dewasa. Bapak masih nyopir. Ibuk masih sama, selalu berjuang untuk anak-anaknya. Isa kini membantu Ibuk dengan mengajar. Untuk sementara dia tidak kuliah, tapi adik-adiknya, Nani dan Bayek, kuliah. Bayek bahkan diterima PMDK di IPB. Setamat dari IPB, ia diterima kerja di New York. Ah, betapa cepat bumi berputar. Dulu di bawah, sekarang di atas. Ibuk bahkan tidak tahu di mana New York itu, tapi Ibuk selalu berdoa untuk Bayek. Begitu juga dengan Bayek yang selalu bertekad ingin mengganti semua kesusahan Ibuk, Bapak, kakak-kakak dan adiknya. Ia memasang target begitu banyak. Ingin membangunkan rumah untuk Ibuk, menguliahkan adiknya, melanjutkan mimpinya. Tapi kehidupan Bayek juga tidaklah mudah. Apakah Bayek berhasil mencapai targetnya? Bisakah Bayek membahagiakan Bapak sebelum Bapak pergi?
Cerita novel ini memang sederhana, datar, tapi entah bagaimana, kisah Ibuk benar-benar menggerakkan. Hanya saat membaca perjalanan Bayek di New York saja yang membuat saya teringat pada Rantau 1 Muaranya Ahmad Fuadi. Latarnya sama-sama di New York, jadi saya cukup familiar. Semangat dan motivasinya pun sangat bagus.
Selain itu, tips-tips yang dilakukan Ibuk sangatlah berguna. Bisa kita aplikasikan di kehidupan nyata. Banyak pelajaran hidup dan moral yang bisa kita dapatkan dari novel ini. Tak salah bila Iwan Setyawan disebut sebagai penulis national best seller. Bukunya saja bagus begini.
Ah, novel yang luar biasa. Awalnya memang agak membosankan sedikit. Sedikit saja, tapi kemudian cerita tentang Ibuk dan anak-anaknya sangat menarik, menggedor-gedor jiwa, mengaduk rasa. Ah, novel yang indah. Berkali-kali saya menangis, sesenggukan, tergugu. Betapa tidak, kisah Bayek dan anak-anak Ibuk mengingatkan saya pada diri sendiri, yang hingga kini belum juga mampu membahagiakan orangtua. Membaca kehidupan Ibuk dan Bapak membuat saya teringat dengan orangtua saya, yang dulu juga harus bersusah payah berhemat demi makanan yang berkualitas dan pendidikan anak-anaknya. Novel ini memang membuat mata bengkak!
“Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.” (halaman 79)
aww..buku yang sejak lama telah jadi inceranku nih
aku belum pernah sekalipun baca buku mas iwan 😀 kayaknya mau mulai dari autumn dulu deh 🙂 ibuk ini sepertinya berdasarkan pengalamannya juga ya…
autumn itu buku pertamanya ya? penasaran juga jadinya. iya, kayaknya ini pengalaman hidupnya, mirip kayak Rantau 1 Muara, pengalaman hidup juga kan ya kalo ga salah
aku udah baca buku pertamanya dan kurang suka. rasanya buku ini perlu coba dibaca ya
yang autum itu ya? iya perlu dibaca nih yang Ibuk. memang sih datar bener, jarang ada konflik kecuali di akhir-akhir. sederhanaaaaa bener. tapi kayak ada magnetnya, pengen terus baca sampe habis haha
Halo, aku minta izin comot review ini untuk dipasang pas IRF di booth BBI ya. Tq
boleh mbak, silakan. semoga berguna ya. sukses buat IRF BBI ^^
sangat meangharukan sekali…….perjuangannya harus kita contoh…
Keren banget bukunya, sampe ikut terhanyut saat baca buku ibuk.