The Shallows : Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita? - oleh Nicholas Carr

Judul Buku: The Shallows
Penulis: Nicholas Carr
Penerjemah: Rudi Atmoko
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Juli 2011
Tebal: 280 halaman
ISBN: 9789794336403
Genre: Nonfiksi, Internet, Psikologi
Rating: 4/5

Perkembangan dunia internet memang sangat memudahkan urusan kita. Dari komunikasi hingga kegiatan komputasi, semua memungkinkan kita untuk bekerja secara efektif. Namun, apakah internet benar-benar tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan berpikir kita?

Saya sempat merasakan perbedaan yang sangat kontras antara saya yang dulu sebelum intens dengan internet dibandingkan saya yang sulit melepaskan diri dari internet. Kalau sebelumnya, saya betah berjam-jam membaca buku dengan duduk manis mengkaji dan menelaah satu demi satu buku, menghubungkan buku satu dengan yang lainnya.

Ketika saya keranjingan internet sekitar tahun 2007 hingga 2008, aktivitas membaca buku saya menurun drastis. Saat itu saya merasa tidak nyaman berlama-lama membaca buku, cepat bosan. Pikiran saya ingin membuka internet saja. Sebentar-sebentar saya membuka browser di komputer atau laptop untuk mengecek email dan notifikasi media sosial. Sebentar-sebentar buka blog untuk mengecek trafik dan komentar yang masuk.

Ketika koneksi internet putus, saya akan merasa sangat gelisah karena seperti tidak ada yang bisa saya lakukan. Iya, itu dulu, saat awal-awal internet berhasil menguasai diri saya, bukan sebaliknya. Mungkin Anda juga pernah? Bersyukur saya, masa-masa itu sudah lama terlewati.

The Shallows karya Nicholas Carr tidak jauh-jauh dari topik seperti pengalaman saya di atas. Buku ini mengupas seberapa besar pengaruh internet pada diri kita, pada otak kita, dan pada kebiasaan-kebiasaan berpikir kita.

Menurut penulis, yang juga seorang finalis Pulitzer Award 2011, dari banyak penelitian pakar terhadap aktivitas otak dan juga berbagai eksperimen para praktisi internet dan teknologi, internet secara tak kita sadari memiliki potensi mengubah cara berpikir kita, terutama berpikir secara mendalam.

“Ketika kita online, kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran terburu-buru dan terganggu, dan pembelajaran yang superfisial. Mungkin saja berpikir secara mendalam sambil berselancar di internet, sama seperti kita bisa berpikir dangkal ketika membaca buku, namun itu bukanlah jenis pemikiran yang didorong dan diharapkan oleh teknologi.” (halaman 121)

Orang yang dalam sehari menghabiskan waktu lebih banyak di depan internet, menurut penelitian yang disebutkan di dalam buku ini, memiliki perubahan cara berpikir secara mendalam yang cukup drastis. Yang tadinya kebiasaan membaca buku dalam waktu lama dan konsentrasi tinggi mampu menumbuhkan cara berpikir secara mendalam, kini perlahan dan berkelanjutan tergantikan dengan kebiasaan membaca artikel di internet secara sepintas-sepintas.

Banyaknya link terkait yang diselipkan di setiap artikel, yang mengarahkan pembaca kepada berbagai informasi lainnya, juga membuat aktivitas otak terbiasa dengan cara berpikir secara cepat dan instan.

Jalur neuronal otak kita sangatlah lentur sehingga akan tumbuh terus dan menyesuaikan dirinya dengan perubahan-perubahan dari kebiasaan kita. Perubahan ini kemudian disusul juga dengan banyaknya ragam buku atau majalah yang ditata sedemikian rupa seperti tampilan web.

Penyesuaian demi penyesuaian dilakukan, termasuk dengan munculnya berbagai perangkat e-reader yang menyuguhkan banyak fitur pendukung bagi para penggila baca. Orang-orang pun selanjutnya menggantungkan ingatannya lewat internet.

Dibanding membongkar buku-buku tebal, orang-orang akan lebih memilih mengunggah hasil pindai buku ke dalam akun cloud-nya. Dibanding berlelah-lelah mengingat dan menghapal banyak informasi, orang-orang akan memilih menuliskannya di blog atau e-mail. Suatu saat jika diperlukan, mereka hanya perlu membuka internet.

Dibanding membaca buku-buku referensi tebal, orang-orang hanya perlu sentuhan jari untuk mengambil sebanyak-banyaknya ilmu dari internet. Internet seolah menjadi jalan pintas dengan seabrek informasi yang mendunia.

“Semakin sering kita menggunakan web, maka otak kita semakin terlalu menghadapi gangguan—memproses informasi dengan amat cepat dan amat efisien tapi tanpa perhatian yang terus-menerus. Hal itu menjelaskan mengapa banyak di antara kita yang sukar berkonsentrasi bahkan ketika tidak sedang di depan komputer. Otak kita pintar melupakan, tidak pintar mengingat. Mungkin ketergantungan kita yang semakin besar terhadap kandungan informasi web merupakan produk dari kumparan diri yang terus ada dan membesar.

Ketika pemanfaatan web yang kita lakukan membuat kita lebih sulit memasukkan informasi ke dalam memori biologis kita, maka kita semakin dipaksa untuk lebih bersandar pada memori buatan yang luas dan mudah dicari di internet, sekalipun itu membuat kita menjadi pemikir yang dangkal.”

(halaman 207)

Apakah ini artinya internet membuat cara berpikir kita dangkal? Menurut saya, bisa jadi, tetapi tergantung seperti apa kita menggunakan internet. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa ini tidak menyuruh kita berhenti menggunakan internet. Buku ini tak juga menyuruh kita hanya membaca buku cetak.

Dengan segala pemaparan penulis disertai pengalaman orang-orang atas penggunaan internet, juga penjabaran penulis tentang sejarah alat-alat berpikir dari mulai alfabet hingga komputer, saya mengambil satu kesimpulan penting, bahwa ketika internet digunakan dalam tataran sekunder, sedangkan primernya adalah membaca buku, maka internet bisa menjadi teman bagi cara berpikir mendalam kita. Tetapi jika sebaliknya, inilah yang terjadi kemudian, bahwa kita menjadi malas membaca bacaan yang panjang dan berujung pada kedangkalan berpikir.

Seperti yang diajarkan nabi kita, bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak memberi kebaikan. Begitu juga dengan internet. Selain kemudahan dan kesenangan yang ditawarkannya, ketergantungan terhadap internet ternyata memiliki konsekuensi fisik dan kebiasaan hidup kita.

Ketika cara berpikir secara mendalam kita lambat laun tergerus, yang tersisa hanyalah pola berpikir karbitan yang rapuh. Jadi, seimbanglah. Memperbanyak membaca buku, menurut Nicholas Carr, akan lebih membuat cara berpikirmu lebih mendalam dan kreatif.