Judul: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Judul Asli: A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern Iraq
Penulis: Fernando Báez
Penerjemah: Lita Soerdjadinata
Jumlah halaman: 373 hlm
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: Maret 2015
Cetakan: Ketiga
ISBN: 978-979126024-4
Genre: Nonfiksi, Sejarah
Rating: 5/5
Pemusnahan buku sejatinya adalah pembunuhan atas ingatan. Buku, yang dari bentuk paling asalnya di zaman kuno hingga bentuk paling mutakhirnya di zaman modern, adalah rekaman jejak sejarah sekaligus mata rantai penghubung antara masa lampau, saat ini dan masa depan peradaban manusia.
Betapa ironis mengetahui bahwa, sejak zaman kuno sampai saat ini, milyaran buku telah mengalami penghancuran yang bersifat permanen, baik yang disebabkan oleh tangan manusia maupun bencana alam, bahkan oleh musuh alami buku itu sendiri.
“Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu.” Demikian kata seorang profesor sejarah abad pertengahan di Bagdad. (halaman 3)
Jika terhadap manusia ada istilah genosida, maka librisida—atau yang oleh sebagian orang disebut dengan istilah bibliosida—adalah istilah yang tepat bagi pemusnahan buku, terutama yang dilakukan secara tersistem.
Dan berbagai peristiwa librisida tersebut dirinci secara menakjubkan oleh penulis asal Venezuela ini, Fernando Báez, di dalam bukunya yang berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Báez membahas kajiannya ke dalam tiga pembagian waktu. Pertama, peristiwa yang terjadi di zaman dunia kuno, mulai dari hancurnya ribuan tablet di perpustakaan Babilonia, pembakaran papirus-papirus di Mesir, runtuhnya perpustakaan Alexandria, hingga pembunuhan kaum terpelajar disertai pembakaran buku di Cina. Masih ada banyak peristiwa librisida lainnya di zaman dunia kuno yang juga dirinci oleh penulis.
Memasuki bagian kedua, penulis memaparkan rincian peristiwa penghancuran buku di masa-masa Byzantium hingga abad ke-19. Contohnya seperti penghancuran Al-Quran di masa perebutan Spanyol, pemberangusan para astrolog di Eropa, pembakaran buku oleh gereja, sampai sensor buku di Inggris dan kasus-kasus lainnya.
Dan terakhir adalah librisida dari abad ke-20 hingga sekarang, termasuklah di dalamnya pemusnahan dan penjarahan besar-besaran Perpustakaan Nasional Irak saat invasi AS ketika terjadi penggulingan Saddam Hussein, yang merupakan kehilangan terbesar dalam sejarah abad ke-21.
Berbagai dokumen bersejarah dari zaman Ottoman yang tidak ternilai harganya, arsip kerajaan kuno Irak, risalah-risalah Ibnu Rusyd, Al Kindi dan Al Farabi, naskah-naskah penting Ibnu Sina, Al-Quran dari abad ke-9, hingga jutaan koleksi, manuskrip dan mikrofilm buku elektronik lainnya musnah.
Kehilangan ini bukan hanya tentang musnahnya buku-buku, melainkan pemusnahan kebudayaan dan peninggalan dari salah satu peradaban terbesar dalam sejarah umat manusia.
Selain sejarah penghancuran buku di dunia dari masa ke masa, Báez juga menambahkan satu bagian khusus yang membahas penghancuran buku di dalam karya fiksi. Cukup unik. Ini akan menambah wawasan pembaca mengenai buku fiksi yang menyinggung tentang librisida.
Hasil Kerja 12 Tahun
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa ini merupakan hasil kerja penelitian 12 tahun Báez. Ia menelusuri dan menganalisa berbagai dokumen dan arsip yang membahas tentang librisida dari zaman ke zaman, termasuk manuskrip-manuskrip kuno dan salinan kajian kuno.
Berbagai sumber referensi penulisan bukunya ia peroleh dari banyak kalangan seperti para pustakawan, ahli sejarah, akademisi, kolektor buku langka, bahkan para penjual buku langka dari tiga benua.
Tak tanggung-tanggung, ia bahkan melakukan audiensi dan diskusi, termasuk koreksi atas naskah bukunya kepada pihak-pihak ahli sehingga data dan penjelasannya akurat. Kelebihan lainnya dari buku ini adalah bahwa penulis cukup obyektif dan tidak berat sebelah dalam memaparkan sejarah.
Sebelum melakukan riset yang mendalam terhadap sekian banyak literatur yang ia gunakan, penulis yang juga menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Nasional Venezuela sekaligus penasehat UNESCO ini di tahun 2003 pernah berada di Irak dan menyaksikan langsung realita pembakaran buku dan perusakan museum saat itu.
Keprihatinannya atas pemusnahan budaya suatu bangsa inilah yang mendorongnya untuk menulis kajian tentang bibliosida. Akibat kritik dan ulasannya tentang perang Irak yang berkaitan dengan kritik terhadap Amerika Serikat, Fernando Báez di-persona non-grata-kan oleh pemerintah AS.
Bibliosida dalam Diri Kita
Jika kita mencermati peristiwa demi peristiwa penghancuran buku yang ada di dunia, kita akan mendapati satu benang merah yang sama, bahwa para pelaku librisida bukanlah orang-orang bodoh tanpa ilmu. Justru kebanyakan dari mereka berasal dari kaum intelektual terdidik.
Banyak faktor yang mendorong tindakan penghancuran buku tersebut. Di banyak tempat dan masa, umumnya librisida terjadi karena motif ideologis masing-masing; Seorang penguasa yang ingin melindungi pemikiran rakyatnya, faktor kebencian etnis, konten yang menentang penguasa, bahkan ada yang disebabkan persaingan ilmu pengetahuan dan alasan-alasan subyektif lainnya.
Buku ini menurut saya termasuk yang terbaik dan paling lengkap dari kajian tema sejenis tentang penghancuran buku. Terus terang, buku ini sangat berkesan buat saya karena isinya benar-benar kompleks, tetapi ada lintasan pikiran yang cukup kontradiktif di kepala saya.
Di satu sisi, saya sangat sepakat dengan ide dan kajian penulis, bahwa bibliosida adalah kekejaman atas buku yang harus kita hindari. Betapa seseorang telah menuangkan isi kepala, waktu dan tenaganya ketika menulis sebuah buku, bahkan ada yang membutuhkan waktu lama hingga menghabiskan seumur hidupnya. Terhadap buku hasil karya seperti itu, rasanya menyedihkan jika dimusnahkan.
Saya menolak pemusnahan buku yang tanpa alasan kuat. Namun, di sisi lain, sejujurnya saya mungkin akan menjadi salah satu oknum bibliosida tersebut.
Bagi saya pribadi, buku-buku yang isinya bisa bersifat merusak secara langsung—tentu saja parameter yang saya gunakan subyektif—dan selama buku itu bukan saya gunakan untuk proses pematangan pemikiran saya, maka barangkali buku itu akan saya “sembunyikan”.
Bukankah menyembunyikan buku masih termasuk dalam term bibliosida? Menurut saya, setiap orang berpotensi menjadi bibliosida sekecil apapun itu.
***
Pun walau begitu, buku ini adalah buku bertema tentang buku terbaik yang pernah saya baca dan sangat saya rekomendasikan bagi para pecinta buku.
“Momen dalam berhadapan dengan sebuah buku adalah momen di mana politik kebudayaan itu diuji: apakah kebudayaan kita masih dikungkung oleh suatu kebencian fasistik ataukah makin cukup terbuka untuk maju.” (halaman xviii)