Judul: Hilyah Thalibil ‘Ilmi – Perhiasan Penuntut Ilmu
Judul Asli: Hilyah Thalibil ‘Ilmi
Penulis: Bakr bin Abdullah Abuzaid
Alih Bahasa: Harwin Murtadlo
Penerbit: Al-Qowam
ISBN: 978-602-8417-43-3
Tebal: 134 hlm
Genre: Agama Islam, Pendidikan Islam
Rating: 4/5
Ada sebuah perkataan bagus dari sahabat nabi Ali bin Abi Thalib ra yang diriwayatkan oleh Khathib Baghdadi, “Ilmu itu memanggil pemiliknya untuk beramal, jika ia memenuhi panggilannya. Jika tidak maka ilmu itu akan pergi.” Perkataan yang saya temukan di buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi karangan Bakr bin Abdullah Abuzaid ini sangat membekas bagi saya pribadi.
Berapa banyak buku yang sudah saya baca dibanding yang saya serap ilmunya? Berapa banyak ilmu yang saya pelajari dibanding yang sudah saya amalkan? Berapa banyak buku yang sudah saya sia-siakan? Sudah benarkah cara saya dalam menuntut ilmu, terutama ilmu ad-diin, termasuk dari buku-buku yang dibaca? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul setelah saya mulai membaca buku ini.
Hilyah Thalibil ‘Ilmi atau yang di dalam judul terjemahannya disebut Perhiasan Penuntut Ilmu adalah buku yang mengupas berbagai adab dan kesalahan yang ada pada diri seorang penuntut ilmu. Siapa saja yang disebut dengan penuntut ilmu?
Mereka adalah orang-orang yang menuntut ilmu, yang dalam konteks buku ini lebih ditekankan kepada ilmu syar’i atau ilmu ad-diin.
Namun, meskipun materi di dalam buku ini sebagiannya khusus diperuntukkan bagi para penuntut ilmu, namun sebetulnya di dalamnya juga memuat banyak hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim, karena sejatinya setiap kita memiliki kewajiban yang sama dalam hal menuntut ilmu, minimal untuk pemahaman dan amal diri sendiri.
Buku setebal 134 halaman ini dibagi menjadi tujuh pasal utama. Pasal pertama hingga kelima membahas adab-adab bagi penuntut ilmu seperti adab terhadap diri sendiri, adab terhadap guru dan sahabat, juga adab dalam kehidupan ilmiah.
Kita akan memahami di bagian ini bahwa ketika menuntut ilmu atau mempelajari ilmu ad-diin, ada rambu-rambu tertentu yang harus kita perhatikan agar aktivitas kita tidak melenceng dari jalur yang Allah tetapkan, sehingga apa-apa yang kita pelajari akan lebih maksimal dan mudah-mudahan beroleh keberkahan.
Di lima bagian pertama, kita akan mengenal bagaimana sebenarnya sikap kita terhadap guru atau ulama, terhadap majelis ilmu, memahami bagaimana tahapan dalam menuntut ilmu, termasuk misalnya tahapan belajar dari buku dan seperti apa sebaiknya prioritas buku yang kita baca sebagai bagian dari tahapan belajar tadi.
Selain itu, pasal-pasal awal ini juga membahas adab-adab ketika berdiskusi, melontarkan pertanyaan, memperdalam pemahaman, metode dalam menuntut ilmu, juga bagaimana menjaga ilmu.
Saya merasa sangat tersindir ketika membaca buku ini karena banyak sekali materi di dalamnya yang seolah menguliti pribadi saya sejujur-jujurnya. Bahwa ketika belajar sendiri hanya dari buku saja, seseorang cenderung merasa dirinya lebih paham dan ahli.
Padahal, belajar hanya dari buku juga mengandung kelemahan dan ada banyak hal yang memerlukan penjelasan lebih detail yang itu hanya bisa kita peroleh dari seorang guru yang kapasitas keilmuannya lebih baik.
Jadi sebaiknya memang ketika mempelajari ilmu ad-diin, selain membaca buku, dibarengi dengan mendengarkan penjelasan para ulama atau guru akan lebih memberikan pemahaman yang utuh.
“Dahulu ilmu ini mulia, para tokoh saling mengajarkan ilmu di antara mereka. Ketika ia memasuki buku-buku maka ia mulai dimiliki oleh orang-orang yang bukan ahlinya.” (halaman 36)
Dengan bahasa yang mudah dipahami, ringkas dan sederhana, buku ini juga mengupas hal-hal terkait dengan amal terhadap ilmu yang dijelaskan pada pasal keenam. Kita diajak kembali pada kisah-kisah ulama dan kegilaannya terhadap buku, juga bagaimana menilai perpustakaan kita sendiri dan perlakuan kita terhadap buku.
Di pasal ketujuh, penulis menjelaskan larangan-larangan dalam menuntut ilmu, termasuk di dalamnya sikap pamer ilmu, pemikiran prematur, Israiliyat gaya baru, dan topik lainnya yang membatalkan perhiasan para penuntut ilmu.
Buku ini, meski lebih tipis dan singkat dari Kitab Al-‘Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, yakni kitab pegangan awal bagi para thalibul ‘ilmi, tapi membacanya bagi saya lebih membekas dan berkesan karena segala hal yang dipaparkan di dalamnya benar-benar to the point dan menusuk hati saya.
Selepas membacanya saya jadi merenung, sekian banyak buku yang saya koleksi, sudahkah mereka bahu-membahu menyokong saya ke arah kebaikan akhirat? Akankah mereka menjadi saksi saya nanti untuk pemberat timbangan kebaikan ataukah justru sebaliknya?
Saya pun semakin termotivasi untuk melengkapi perpustakaan saya dengan kitab-kitab induk dan buku-buku yang ditulis dengan pemahaman yang mendalam. Tak bisa saya pungkiri juga, terkadang hati saya masih tarik ulur antara keinginan duniawi dan visi akhirat, namun buku ini semoga menjadi pengingat bahwa kita tidak lama hidup di dunia.
Dibanding sebuah resensi, rasanya ulasan saya kali ini lebih tepat disebut sebagai curahan hati saya. Tak apa, semoga tetap bermanfaat. Ada satu bait syair yang sangat bagus disuguhkan di bagian akhir buku ini dan saya suka sekali, semoga bisa menjadi penutup yang baik.
“Duhai, betapa ruginya, usia telah habis dan habis pula
Waktu-waktunya di antara hinanya kelemahan dan kemalasan
Orang-orang telah menempuh jalan keselamatan, telah pula
Berjalan menuju tempat tujuan dengan pelan.” (halaman 112)