Bulan NararyaJudul: Bulan Nararya
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
ISBN: 979-602-1614-33-4
Tebal: 256 hlm
Tahun terbit: September 2014
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Psikologi
Rating: 4/5

Berinteraksi dengan pengidap skizofrenia memang tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran dan pemahaman yang ekstra untuk bisa beradaptasi dengan mereka. Umumnya kebanyakan orang hanya mengetahui istilah ‘gila’ untuk gangguan kejiwaan yang satu ini, padahal nyatanya tidaklah tepat seperti itu. Orang-orang yang mengidap skizofrenia biasanya memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain tergantung tingkatan yang dialaminya. Ada yang dirinya merasa mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak ada. Ada pula yang merasa dirinya sedang terancam bahaya atau seseorang berusaha mencelakainya. Yah, semacam paranoid tertentu lah. Biasanya pengidap skizofrenia suka duduk menyendiri berjam-jam tanpa sepatah kata pun. Ada juga yang menunjukkan tingkah lainnya seperti berbicara sendiri atau bergumam tidak jelas. Lain orang menunjukkan tingkah yang lebih ekstrem seperti marah, mengamuk, menyakiti dirinya sendiri atau orang lain. Meskipun terlihat normal secara fisik, namun kejiwaan mereka sedang terganggu. Ilusi, delusi, atau halusinasi menjadi gejala umum yang dimiliki oleh pengidap skizofrenia.

Selama ini, pengobatan skizofrenia umumnya masih bergantung pada metode farmakologi alias obat-obatan kimiawi. Tingkatan dosis obat bergantung pada seberapa parah skizofrenia yang diderita. Dan umumnya, metode ini memiliki kelemahan, yaitu ketergantungan obat. Tanpa obat, penderita skizofrenia akan sulit untuk tidur secara alami atau berpikir lebih jernih. Apabila skizofrenia itu disebabkan oleh kerusakan otak atau ketiadaan neurotransmitter, mungkin pengobatan farmakologi memang mutlak dibutuhkan. Tetapi bagaimana bila penyebabnya depresi hebat? Apakah metode farmakologi hanya satu-satunya cara?

Inilah yang sedang berusaha dilakukan oleh Nararya di sebuah klinik kesehatan mental. Nararya, seorang terapis mental, ingin melakukan pendekatan lain selain farmakologi untuk pasien skizofrenia di sana, yang kebanyakan disebabkan oleh trauma dan depresi hebat. Pendekatan transpersonal namanya.

Transpersonal adalah suatu aliran baru yang lebih sangat berbau budaya dan filosofi, mencoba mendekati setiap penderita dengan apa yang mereka butuhkan. (halaman 231)

Pasien-pasien Nararya cukup unik. Ada Pak Bulan, seorang bapak tua yang kehilangan kewarasannya karena sesuatu hal. Ia sangat menyukai bunga dan bulan, makanya disebut Pak Bulan. Pak Bulan bahkan dibolehkan mengelola kebun mawarnya sendiri di klinik tempat Nararya bekerja. Ada Yudhistira, si arsitek yang terganggu mentalnya karena tekanan keluarga. Ia suka melukis. Ada juga Sania, seorang anak perempuan beranjak remaja yang menderita trauma akibat tindak kekerasan ibunya sejak kecil. Karena merekalah Nararya berjuang untuk melakukan pendekatan transpersonal sehingga nantinya bisa beradaptasi dengan lingkungan dan orang lain.

Namun sayangnya, di tengah-tengah kesibukan Nararya yang cukup melelahkan menghadapi pasien gangguan mental, juga masalah pribadinya dengan suaminya Angga hingga harus bercerai, ditambah lagi tekanan dari sahabat dan bosnya, Nararya mulai mengalami sesuatu yang tidak ia harapkan. Ia diteror oleh kelopak mawar dan darah yang selalu menghantui hari-harinya di saat Nararya merasa lelah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Nararya? Apakah itu hanya halusinasinya saja? Ataukah ada seseorang yang melakukan teror padanya? Inilah PR besar yang harus dipecahkan Nararya. Misteri kelopak mawar dan darah, serta menyelesaikan terapi pasiennya.

Benturan-benturan harapan dan realitas memungkinkan perasaan meluncur menuju jurang terdalam kesedihan. Dan, dalam samudera kesedihan, otak manusia seringkali menipu demi memanipulasi rasa. (halaman 33)

Membuat penasaran dan berhasil memancing antusias saya, novel Bulan Nararya ini saya beri rating bintang empat. Apalagi tema seputar skizofrenia yang memang tak biasa ini juga tak banyak diangkat menggunakan sudut pendekatan seperti yang dilakukan Sinta Yudisia. Sewaktu membaca sinopsisnya, awalnya saya mengira novel ini semacam novel misteri atau sejenisnya, tapi ternyata bukan. Setelah saya baca, ternyata isinya tentang skizofrenia. Saya senang sekali mengetahuinya karena saya pribadi sudah sangat familiar dengan penyakit ini.

Di dunia nyata, saya hidup berdampingan dengan anggota keluarga yang mengidap skizofrenia hampir 20 tahun lamanya. Meskipun bukan tingkatan berat, namun sampai sekarang beliau belum bisa lepas dari obat-obatan sejenis obat tidur. Selain menghadapi langsung si penderita, saya juga kerap berinteraksi dengan orang-orang pengidap skizofrenia dari kalangan keluarga teman maupun saudara. Yah, semacam sharing atau konsultasi antar teman lah istilahnya, berbagi pengalaman tentang bagaimana menghadapi anggota keluarga yang mengidap penyakit tersebut. Tidak bisa dipungkiri, banyak orang, khususnya teman-teman saya, yang ketika ada anggota keluarganya mengidap penyakit seperti ini, justru mengalami kebingungan saat menghadapinya. Bingung dan stress karena tidak tahu harus bagaimana sebagai anggota keluarga.

… orang skizophrenia merespon dengan caranya sendiri atas dunia yang berantakan. Saat tertekan dan terhimpit, mereka mencoba beradaptasi dengan cara sendiri yang tak dimengerti orang normal pada umumnya. (halaman 215)

Memiliki anggota keluarga dengan penyakit gangguan mental seperti ini, meskipun pada tingkatan ringan atau sedang, kita memang harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai skizofrenia. Karena sebenarnya faktor pendampingan keluarga lah yang paling penting dalam proses penyembuhan si penderita. Keluarga harus ekstra sabar dan benar-benar memahami kondisi penderita. Dan saya sepakat dengan wacana yang diangkat oleh Sinta Yudisia dalam novel ini tentang pendekatan transpersonal. Menurut saya, proses pengobatan skizofrenia sangat perlu menggunakan kedua metode ini. Selain menggunakan obat-obatan, pendekatan transpersonal juga diperlukan meskipun pendekatan jenis ini tentunya akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Menggunakan pendekatan secara spiritual, sosial dan juga lewat apa yang mereka butuhkan, itulah sebenarnya yang mereka perlukan. Perhatian dan penerimaan keluarga benar-benar dibutuhkan oleh pengidap penyakit ini. Penolakan hanya akan memberikan dampak negatif bagi proses penyembuhan. Jika keluarga sebagai orang terdekatnya saja tidak mau menerima kondisi pengidap skizofrenia, bagaimana kita mengharapkan lingkungan atau masyarakat untuk menerima? Orang terdekatlah yang paling memiliki andil besar untuk penyembuhan skizofrenia.

Meskipun ending-nya tidak seperti yang saya harapkan, tapi novel ini sangat menarik. Sebagian narasi memang terkesan seperti nonfiksi ketika menjelaskan informasi seputar skizofrenia, seakan-akan yang bercerita adalah penulisnya langsung, bukan si tokoh Nararya. Tapi, bagi saya pribadi, hal tersebut tidaklah terlalu memengaruhi kenikmatan saya membacanya. Saya tetap suka.

Novel ini meraih penghargaan sebagai Juara ketiga Kategori Novel dalam ajang Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Saya sangat merekomendasikan novel ini bagi penyuka novel yang saat ini keluarganya sedang menghadapi penyakit skizofrenia. Selain mengangkat hal-hal yang terjadi di sekitar kita, Sinta Yudisia juga menyuguhkan kasus-kasus menarik seputar kesehatan mental yang layak untuk diketahui oleh banyak orang. Apalagi penulisnya juga memang berlatar ilmu psikologi, memang bagian ilmunya, sehingga pembaca tidak perlu ragu terkait informasi yang diselipkan di novel. Setidaknya sebagai orang luar, kita jadi tahu bagaimana sebaiknya bersikap ketika bertemu dengan pengidap skizofrenia.