Judul: Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus
Penulis: Yusuf Mansur
Penerbit: Republika Penerbit
ISBN: 978-602-8997-87-4
Tebal: 155 hlm
Tahun terbit: September 2014
Cetakan: Kedua
Genre: Agama Islam, Tazkiyatun Nafs
Rating: 4/5
Mungkin inilah cara Allah Ta’ala untuk mengingatkan saya. Selepas membaca buku Ulasan Tuntas tentang Tiga Prinsip Pokok, yang di dalamnya dibahas tentang mengenal Allah Ta’ala, saya langsung dihadapkan dengan bukunya Ustadz Yusuf Mansur ini yang berjudul Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus. Buku ini merupakan hadiah dari ParcelBuku.net karena saya berhasil menjadi pemenang Islamic Reading Challenge 2015 bulan Januari yang lalu lewat ulasan buku Kitab Al-Ilmi. Hadiah ini dikirimkan bersamaan dengan buku pesanan saya di Parcel Buku pada 19 Februari dan sampai di rumah sekitar awal Maret. Masalahnya, saya sedang di luar kota saat itu, sehingga buku ini sampai di tangan saya sekitar tanggal 20 Maret setelah kembali ke Medan. Baru sekarang bisa diselesaikan dan diulas. Alhamdulillaah … saya bersyukur sekali dihadiahi buku ini meskipun ulasannya agak sedikit terlambat ^^
Seperti judulnya, buku ini berisi kumpulan tulisan Ustadz Yusuf Mansur tentang Allah dan Allah. Selama ini, umumnya kalau ditanya siapakah Tuhan kita, dengan entengnya kita akan menjawab Allah. Namun pada kenyatannya, apakah benar Allah ada di setiap lini kehidupan kita, di setiap pikiran dan langkah kita? Seringnya posisi Allah berada di sisa-sisa prioritas kita, kalah dengan posisi uang, pekerjaan, ikhtiar atau bahkan manusia. Ketika dihadapkan dengan kesempitan finansial, yang paling pertama kita ingat adalah uang, bukan Allah. Ketika diuji dengan sakit, yang duluan kita ingat adalah dokter dan rumah sakit, bukan Allah. Padahal, siapa yang memberi rezeki? Siapa yang memberi sakit? Allah.
Di buku ini, Ustadz Yusuf Mansur berupaya membuka mata dan hati kita tentang keberadaan Allah. Bahwa sebagai hamba-Nya, sudah semestinya yang paling duluan kita ingat adalah Allah. Minta sama Allah. Berdoa dan bergantung sama Allah. Ini artinya bukan kita disuruh untuk tidak ikhtiar, bukan. Maksudnya, setiap aktivitas apa pun yang kita lakukan atau masalah apa pun yang kita alami, pertama-tama yang harus kita prioritaskan adalah minta sama Allah. Doa. Yakin, bahwa Allah ada dan akan selalu menolong hamba-Nya. Setelah itu, barulah kemudian ikhtiar dan lain-lainnya mengikut. Seberat apa pun masalah kalau kata Allah ringan, jadi ringan masalah itu. Sesulit apa pun solusi yang kita cari, kalau kata Allah mudah, mudahlah solusi itu. Allah selalu ada untuk kita.
“Hanya Allah semata yang kalau kita datangi, Dia yang tak punya masalah, Dia nggak punya beban, Dia nggak punya kesulitan, dan Dia selalu menerima tanpa bosan, tanpa menggerutu, tanpa mengeluh ketika seringnya kita datang.” (halaman 9)
“Banyak di antara yang menginginkan sesuatu atau banyak hal di dunia ini, tapi tidak melangkah ke Allah. Sehingga, urusan dunia menjadi bernilai dunia saja.” (halaman 20-21)
Di sinilah posisi tauhid itu. Inilah iman itu. Dengan yakinnya kita kepada Allah, maka peran ikhtiar menjadi ibadah, adab, akhlak, bukan sebagai tujuan atau bahkan Tuhan, seperti tagline buku ini, “Menomorsatukan Allah di atas segalanya dalam keadaan bagaimana pun dan sampai kapan pun.” Jika Allah yang nomor satu, maka akan hadir banyak keajaiban yang tidak kita sangka-sangka. Sebenarnya tidak cukup gamblang rasanya bagi saya untuk menceritakan kembali isi buku ini. Khawatir ada pemahaman yang salah atau tak sampai ke pembaca karena sepotong-sepotong. Dengan membacanya tuntas, in syaa Allaah pembaca akan lebih memahami paparan ini.
Bagi saya pribadi, buku ini berhasil membuat saya menangis, mengingat kesalahan-kesalahan saya, menyadari kealfaan diri, dan meluruskan kembali persepsi saya terhadap Allah dan kehidupan. Selain tazkiyatun nafs dan tauhid, buku ini juga mencantumkan beberapa tulisan berisi kasus-kasus atau pengalaman-pengalaman Ustadz Yusuf Mansur saat mengelola rumah tahfidz bersama masyarakat, juga tentang sedekah, al-Qur’an, dan rezeki. Bagus sekali, masya Allah.
Judul: Bersiap untuk Akhirat
Penulis: Arifin Ilham
Penerbit: Republika Penerbit
ISBN: 978-602-8997-87-4
Tebal: 168 hlm
Tahun terbit: September 2014
Cetakan: Kedua
Genre: Agama Islam, Tazkiyatun Nafs
Rating: 4/5
Selain bukunya Ustadz Yusuf Mansur, di bagian belakangnya juga ada bukunya Ustadz Arifin Ilham berjudul Bersiap untuk Akhirat. Menomorsatukan akhirat di atas segalanya dalam keadaan bagaimana pun dan sampai kapan pun. Jadi, buku ini sebenarnya adalah dua buku yang disatukan, depan dan belakang. Timbal balik. Two-in-one.
Hidup di dunia ini ibarat persinggahan sementara. Tujuan akhir kita adalah akhirat. Hidup di dunia adalah kesempatan untuk mengumpulkan bekal akhirat karena kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan di akhirat. Sayangnya, kita sering kali lupa tentang pemberhentian akhir kita. Kita cenderung cinta dunia dan takut mati. Dunia kita kejar, tapi akhirat kita tinggal. Di buku ini, Ustadz Arifin Ilham mencoba menyadarkan kita tentang hakikat akhirat. Tujuan kita di dunia ini adalah agar Allah Ta’ala ridho pada kita dan kehidupan kita memperoleh keberkahan.
Buku ini juga mengulas tentang surga, tentang sakit, taubat, dosa, dan tentang bagaimana caranya menjadi muslim yang baik dan beroleh berkah. Ada banyak sekali ilmu yang bisa didapatkan oleh pembaca lewat buku ini. Maka pantaslah jika generasi-generasi Islam awal dahulu memiliki kehidupan yang begitu baik lagi indah. Mereka menomorsatukan Allah dan akhirat di atas segalanya. Semoga kita bisa meneladani mereka ya.
Hanya saja, ada satu tulisan yang mengusik pikiran saya, yaitu tentang kisah seorang Yahudi buta di pasar yang selalu menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi beliau tetap memberi makan Yahudi buta ini hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan digantikan dengan Abu Bakar radiyallahu ‘anhu. Anda mungkin familiar dengan kisah ini ‘kan? Nah, yang membuat saya terusik adalah apakah benar kisah ini merupakan kisah shahih atau bukan karena saya pernah membaca bahwa kisah Yahudi buta ini bukanlah kisah shahih. Ini menjadi PR bagi saya untuk mencari tahu info detailnya.
Terlepas dari keterusikan saya itu, kedua buku ini sangat layak dibaca untuk melembutkan hati kita yang mungkin sudah keras atau buram. Hati yang bersih akan mudah memantulkan cahaya. Hati yang lembut akan mudah menyerap hikmah. Dan salah satu sarana untuk melembutkan hati selain membaca al-Qur’an dan berada di majelis ilmu adalah dengan membaca kisah penuh hikmah atau buku-buku bertema tazkiyatun nafs seperti buku ini.
“Kebaikan itu memancar keceriaan di wajahnya dan cahaya di hati, kelapangan rezeki, mahabbah (kecintaan) pada hati makhluk. Sementara kemaksiatan itu menyebabkan warna hitam (kegelapan) pada wajah dan hati, kesempitan rezeki dan kemarahan di hati makhluk.” — Ungkapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
Ada banyak materi dan informasi yang saya kutip dari buku ini dan sudah saya kumpulkan di blog kutipan buku saya. Silakan dibuka link berikut ini bagi yang ingin membacanya.
syukran ya vy remindernya, jazakillah khayr..
betul.. betul sekali semua yang evy tulis di atas
dan biasanya kondisi tuhan kita adalah Allah itu saat ruhiyah sedang bagus-bagusnya… saat kita ketat sekali memperhatikan adab, amalan sunnah, dlsb.
Sekali saja melanggar rambu-rambu syariat, tergelincir, na’udzubillah.. dan hasilnya di waktu berikutnya ketemu sama yang namanya cemas, galau, sedih dll. Padahal tuhan kita Allah, bukan duit, bukan dokter, bukan makanan, bukan dagangan, dan bukan-bukan yang lainnya.
dan taubat.. taubat.. taubat.. astaghfirullah..
hal yang seperti ini sering yah terjadi, sadar… waktu berjalan pingsan lagi…
sadar lagi.. pingsan lagi…
yuk ah perbanyak multivitamin biar ga mudah “pingsan” lagi
malah ikutan curcol di kolom komentar bgm nih wkwkw
memang iman itu kan naik turun ya hanim. manusia juga tempatnya khilaf dan lupa. makanya kita dianjurkan untuk sering-sering mengingatkan diri lewat banyak sarana. kalau sendirian ya sulit kan. tapi kalau kita berkumpul dengan yang baik-baik, majelis ilmu, dengerin ceramah di internet, atau sarana-sarana lain, mudah-mudahan itu jadi sarana pengingat kita supaya tetap on track istilahnya ya.
iya, kalo lagi pas ruhiyah bagus-bagusnya, kita ingat sama Allah ya. tapi pas giliran kesempitan, langsung muncul cemas dan galau. evy baca buku ini agak lama selesainya karena bentar-bentar nangis, bentar-bentar nangis. terasa sekali ditegur dan diingatkannya karena pas lagi baca buku ini kondisinya passss sekali sama yang lagi dialami. jadi rasanya gimana gitu, kesindir bener.
saling mengingatkan ya. fa jazakillaahu khair. semoga berkah dan jadi amal jariyah buat penulis buku ini T_T