Judul: Aida – Telaga yang Tak Pernah Kering
Penulis: Muttaqwiati
Penerbit: PT Syamil Cipta Media
Tahun terbit: 2002
Program Mudik Bareng ke Blog Sendiri ini benar-benar berhasil membangkitkan ingatan saya terhadap buku-buku yang berpengaruh bagi hidup. Jika tak ada program ini, mungkin sampai sekarang saya tidak benar-benar tahu buku mana yang nyata-nyata berpengaruh besar bagi hidup saya. Jika ditanya oleh orang lain, biasanya saya hanya menjawab judul-judul buku yang memang menurut saya bagus dan saya sukai, tetapi tidak benar-benar berpengaruh. Nah, kali ini saya ingin berbagi salah satu buku yang berpengaruh bagi kesadaran spiritual saya.
Kalau orang bilang masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah, terutama putih abu-abu, mungkin ada benarnya juga. Masa SMA adalah masa awal pencerahan kehidupan beragama saya. Sejak masuk SMA, saya memang sudah menutup aurat, sudah berjilbab, tapi saat itu saya belum tahu bahwa menutup aurat itu wajib bagi muslimah di dalam Islam. Alasan saya mengenakan pakaian muslimah ke sekolah lebih karena ingin sama-sama berjilbab seperti dua sahabat saya. Selain itu, saya juga sudah merasa malu bila tubuh saya terbuka. Naluri itu datang begitu saja tanpa pikir panjang, mungkin karena sedari kecil saya memang tidak terlalu suka memakai pakaian yang ketat atau agak terbuka, apalagi sejak di SMA. Rasanya risih, tidak leluasa, seakan-akan belasan pasang mata di jalanan sana melihat lekukan tubuh saya. Parno ya? Tapi tahu sendiri, ‘kan, di usia remaja biasanya bentuk tubuh kita agak berubah; lebih berisi dan ada bagian-bagian yang semakin bertambah. Jadilah saya berjilbab dan mengenakan pakaian muslimah supaya lebih nyaman.
Pemahaman saya akan agama sangatlah minim, tetapi bersentuhan dengan rohis (Kerohanian Islam) dan pesantren kilat kemudian memberi saya wawasan baru tentang Islam. Bahwa sebenarnya menutup aurat itu wajib bagi setiap muslimah yang sudah baligh, bahwa sebagai perempuan kita harus menjaga diri kita, juga hal-hal lainnya yang sama sekali baru bagi saya. Selain ikut kegiatan rohis, saya juga suka berkunjung ke mushola karena di sana ada perpustakaannya. Ada banyak buku-buku agama yang bagus. Di sinilah saya mulai mengenal novel islami, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan buku-buku sastra Balai Pustaka atau terjemahan karya Enid Blyton.
Kala itu buku yang banyak beredar adalah terbitan Syamil karya anak-anak FLP seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Muttaqwiati, Muthmainnah, Melvi Yendra dan sebagainya. Buku-buku seperti itu sekarang sudah sulit dicari. Membacanya di usia remaja saat itu memang sangat mengasyikkan, padahal jika dibaca lagi saat ini mungkin rasanya sudah jauh berbeda. Ada satu judul yang sangat berkesan bagi saya, yaitu Aida.
Aida adalah novel islami karya Muttaqwiati, yang berkisah tentang kehidupan seorang muslimah bernama Aida di tengah-tengah desa penuh konflik. Awalnya ia tidak ingin meneruskan kuliahnya jika tidak di kota besar, tetapi akhirnya ia harus menerima sebuah kampus sederhana di desa Banyu Ijo. Ada banyak konflik dan peristiwa yang terjadi di desa itu. Mulai dari orang-orang di rumah tempel tempat Aida tinggal, sikap beberapa masyarakat desa yang tidak suka dengan Aida, sampai konflik antar sesama masyarakat desa terkait hal-hal prinsipil. Semua itu menjadi makanan sehari-hari Aida semasa kuliah. Meskipun begitu, masih banyak orang-orang dengan kebijaksanaan di sana yang juga mendukung Aida.
Aida diterbitkan dalam dua buku berseri. Seri pertama berjudul Aida Telaga yang Tak Pernah Kering, yang lebih banyak bercerita tentang kehidupan Aida semasa di kampus dan di lingkungan masyarakat desa. Sedangkan seri kedua berjudul Aida Pendar-Pendar Kehidupan, yang menceritakan kehidupan Aida setelah dewasa, ketika ia kembali ke Banyu Ijo untuk mengabdikan diri, serta tentang kelanjutan jodohnya.
Novel ini memang tidak seperti novel-novel sastra umumnya dengan bahasa-bahasa yang indah atau terkesan berat. Lantas apa yang membuat saya begitu memilih judul ini sebagai salah satu buku yang berpengaruh bagi perjalanan spiritual saya? Padahal ada banyak novel dan kumpulan cerpen islami sejenis yang juga punya andil dalam pencerahan diri saya. Bagi saya, novel Aida memiliki kesan lebih mendalam karena karakter tokohnya yang benar-benar istimewa. Sosok Aida kala itu membuat saya terkagum-kagum. Kok ada ya muslimah yang hebat seperti Aida itu? Begitu pikiran polos saya.
Gara-gara membaca novel itu, saya jadi punya keinginan agar bisa seperti Aida yang sholehah dan cerdas. Sosok Aida yang diceritakan di novel itu sangat anggun dengan pakaian muslimahnya yang rapi, juga pintar, menjadi tempat curhat ibu-ibu dan remaja, dan menjadi problem solver untuk banyak hal. Ia juga mampu bertahan di tengah-tengah praktik perdukunan desa Banyu Ijo. Bahkan di saat ia begitu merasa lemah dan lelah, ia masih sanggup berprasangka baik pada Yang Maha Pencipta. Ia melipatgandakan amal ibadahnya dan memegang teguh imannya di setiap kondisi. Terdengar seperti Miss Perfect? Tidak juga. Mungkin kalau di novel islami zaman sekarang, tokoh yang mirip Aida ini seperti Fahri di novel Ayat-Ayat Cinta barangkali, ya?
Saya begitu kagum dengan tokoh ini, sampai-sampai setelah beberapa kali kesempatan, saya memutuskan untuk mulai memperbaiki pakaian saya. Meskipun saat masuk SMA jilbab saya tidak terlalu pendek, masih menutup dada, tapi kemudian saya semakin memperbaiki jilbab saya lagi. Sehelai kain segi empat itu menjadi lebih panjang. Baju atasan saya jadi lebih longgar. Saya juga mulai belajar memakai rok yang sejak dulu belum pernah saya kenakan. Perlahan-lahan penampilan saya berubah dan rasanya sangat nyaman. Saya merasa lebih leluasa bergerak. Selain itu, saya juga mulai membaca buku-buku agama yang lebih baik. Saya mulai memperbaiki cara saya bergaul. Well, meskipun dari dulu saya memang pemalu, apalagi terhadap lawan jenis, tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin menjaga adab-adab pergaulan.
Selanjutnya saya mulai mengoleksi novel dan cerpen islami di rumah. Teman-teman dan adik kelas saya sering meminjam buku-buku itu karena bahasanya memang ringan dan cocok untuk segmen remaja. Imbas dari hal tersebut, buku-buku saya itu banyak juga yang raib, tidak jelas rimbanya. Tapi tak apa-apa, semoga menjadi kebaikan. Dan sekarang, saya mulai mengumpulkan lagi buku-buku seperti itu. Buku Aida sendiri baru ada seri keduanya, sedangkan seri pertama masih belum ketemu.
Yah, begitulah. Intinya, novel Aida ini menjadi gerbang awal saya mendapatkan hidayah. Alhamdulillaah…Semoga Allaah memberikan kebaikan yang tak putus-putus bagi penulis buku ini.
960 kata