theboywhoatestarsJudul: Anak Lelaki yang Menelan Bintang-Bintang
Penulis: Kochka
Judul Asli: The Boy Who Ate Stars
Alih Bahasa: Rahmani Astuti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-22-3927-8/978-979-22-3927-0
Tebal: 104 hlm
Dimensi: 20 cm
Tahun terbit: 2008
Cetakan: ke-1
Genre: Fiksi Anak, Fiksi Psikologi
Rating: 4/5

Tak banyak novel yang menyuguhkan tema autisme dari sudut pandang seorang anak kecil, salah satunya adalah novel ini. The Boy Who Ate Stars berkisah tentang petualangan seorang anak perempuan berusia dua belas tahun bernama Lucy, yang selalu berupaya membantu Matthew, si teman baru kecilnya. Matthew adalah seorang anak penyandang autis yang tinggal di dekat rumah baru Lucy. Ia selalu melakukan sesuatu di luar kebiasaan anak normal lainnya. Ia suka menonton TV dari jarak yang sangat dekat, lalu bersuara aneh, menggulung-gulung dan mengacak-acak rambut panjang orang lain, berteriak dan berguling-guling tanpa sebab, atau berputar seperti angin ribut saat marah. Lucy bahkan sangat penasaran saat melihat Matthew bisa ‘berubah’ menjadi apa saja yang menarik perhatiannya.

Bersama teman-teman barunya Theodora, Francois si anjing kecil pemalu milik pasangan Marotte, kakek Balthazar, dan Maougo pengasuh Matthew, Lucy memulai petualangannya untuk menyelami dunia Matthew, mencoba berkomunikasi dengannya, lalu melakukan hal-hal yang penuh kejutan tak terduga. Dimulai dari berhasilnya Matthew berkomunikasi lewat tama, sebuah drum kecil milik kakek Balthazar, yang dipukul-pukul saat Matthew ingin menyapa, “Halo.” Berlanjut dengan petualangan di sebuah kafe yang menimbulkan sebuah insiden kecil. Matthew membuat kaget seorang pelayan kafe dengan menyusupkan tangannya ke rambut si wanita itu!

Hampir setiap hari mereka jalan-jalan di luar, menikmati udara segar, pemandangan sekitar dan pepohonan. Tak hanya Matthew yang mendapatkan hikmah pelajaran, Francois si anjing pemalu juga belajar banyak hal dan mulai meninggalkan rasa malunya. Ia belajar meminta sesuatu, mengelak, dan sebagainya. Lucy dan Theo juga belajar banyak hal dari persahabatan mereka. Ia selalu mencatat semua kejadian yang mereka alami di sebuah buku khusus, semacam jurnal. Ia menuliskan hal-hal yang ada di pikirannya mengenai Matthew, menentukan dan mencatat defenisi dari istilah-istilah baru yang ia temukan, juga perilaku-perilaku orang yang ia temui, hingga akhirnya ia dan Theo menyimpulkan defenisi autisme seperti berikut ini:

“Autisme: penarikan yang tidak biasa ke dalam dunia batin akibat kontak yang begitu kuat dengan realitas, sehingga manusia bisa menjadi benda.” (halaman 64)

Sebuah defenisi yang menarik, lucu dan spontan dari seorang anak kecil, ya? Bayangkan, Lucy baru berusia 12 tahun! Tapi begitulah dalam pandangan mereka. Secara polos, mereka berusaha untuk memahami dunia Matthew, dunia autisme. Dengan sebuah ketulusan, mereka mengalami kemajuan yang sangat pesat dari hari ke hari. Hal ini membuat ibu Matthew dan Maougo bahagia. Matthew juga jadi lebih bahagia, gembira dan riang. Ia tidak penyendiri seperti dulu lagi.

Puncak kisah mereka terjadi saat Francois menghilang. Lucy merasa bersalah, dan bersama Theo akhirnya mereka menemui Maougo untuk meminta bantuan. Sesampai di sana, tanpa diduga tiba-tiba Matthew memutar kunci rumah dan keluar, berjalan menuju sebuah tempat di tengah hujan malam hari. Apa yang akan dilakukannya? Lalu bagaimana nasib Matthew di tengah hujan itu? Juga ke mana Francois yang hilang tanpa jejak? Dan tahukah Anda mengapa judul buku ini adalah “Anak Lelaki yang Menelan Bintang-Bintang”? Saya rasa siapa pun harus segera membaca buku ini.

Novel ini memang ajaib. Ditujukan untuk semua usia. Meskipun ide ceritanya cukup kompleks, tentang autisme, tapi berhasil diceritakan dengan sangat sederhana, hingga seorang anak SD atau remaja pun bisa memahami kisah ini. Begitulah saya pikir. Tak ketinggalan beberapa kutipan bagus dari beberapa buku anak klasik juga ikut tampil di novel ini, yaitu pada saat Lucy mendekorasi ulang ruangannya. Kata-kata kutipan itu ia cantumkan untuk digantung di berbagai kertas dekorasi. Sangat kreatif.

Di mana-mana, sebuah ketulusan akan berbuah kebaikan. Inilah salah satu pelajaran moral dari novel ini. Selain itu ada banyak lagi hal-hal positif yang bisa kita temukan dalam buku tipis ini, tentang cara pandang kita terhadap orang lain, tentang lingkungan sosial kita, tentang banyak hal. Dan terutama, tentang cara kita memandang anak autistik, mungkin inilah fokus utama Kochka dalam novelnya. Bahwa seorang anak kecil saja mampu menyelami planet autistik, mengapa orang dewasa tidak?

“Tadi malam, aku berdiri untuk menempelkan sebuah bintang di bawah tempat tidur mezaninku. Itu untuk Matthew, anak yang merupakan planet tersendiri. Supaya bisa mengenal planet itu, kau harus menyingkirkan berbagai aturan dan prasangka dan bahasa, dan melemparkan dirimu kepadanya tanpa takut mengikuti perjalanan menembus angkasa luar. Kalau sudah besar nanti, aku ingin mengajar anak-anak autistik. Matthew adalah pertempuranku sendiri dengan planet-planet!” (halaman 103)