Don’t judge a book by its cover. Idiom ini mungkin sudah terlalu sering kita dengar dan pahami maknanya. Bahwa sebagai seorang pembaca, sudah barang tentu menilai buku itu haruslah secara obyektif. Jika menilai sesuatu dari luarnya saja, kita cenderung menjadi subyektif dan tidak tahu secara utuh mana yang bagus dan mana yang tidak—menurut penilaian kita pribadi—dari sebuah buku.
Saya termasuk tipikal pembaca yang selektif, yang lebih banyak memilih buku-buku yang sesuai dengan selera dan ‘aman’ bagi pikiran saya. Saya sulit untuk berpindah selera. Karena hal ini pula maka saya agak membatasi diri dengan genre romance, fantasi dan horor. Alasannya? Pertama, genre romance kebanyakan bercerita tentang pacaran dan kisah seseorang yang jatuh cinta, mengejar cinta, putus cinta, cinta diam-diam, dan sejenisnya. Bagi saya, pengulangan tema seperti itu cukup membuat saya malas untuk meliriknya. Klise. Tema-tema ini umumnya terdapat pada buku-buku teenlit atau juga di genre young adult. Selain itu, genre romance umumnya mengandung adegan-adegan erotis atau vulgar. Ini yang paling membuat saya sangat sangat tidak nyaman jika membacanya.
Di genre fantasi, saya akan bertemu dengan sihir, makhluk-makhluk aneh dan hal-hal magis lainnya yang kurang saya suka. Sebenarnya tidak semua di genre fantasi ini yang saya tak suka. Hanya khusus pada buku yang berbau magis itu saja. Sedangkan horor, alasannya lebih karena saya tidak suka cerita horor dengan hantu-hantu atau pembunuhan yang berdarah-darah, membuat jantung saya berdegup kencang. Untuk hal-hal seperti ini, idiom tadi tidak berlaku bagi saya. Saya akan dengan cepat memutuskan menilai sebuah buku jika tiga genre tadi sudah mengandung poin-poin yang saya sebutkan. Namun, agaknya saya perlu mengoreksi beberapa hal pada diri saya terkait topik ini. Ternyata tak selamanya menilai buku dari sampul, genre, penulis atau endorsement itu sesuai dengan perkiraan kita.
Menilai Berdasarkan Penulis
Bulan lalu, saya melakukan penilaian atas sebuah buku semata-mata karena nama penulisnya, yaitu ketika saya membaca The Amber Room. Awalnya, ekspektasi saya terhadap penulisnya, Steve Berry, cukup besar mengingat ia adalah salah satu penulis novel sejarah dan thriller yang cukup terkenal. Didasarkan atas itu serta genrenya yang memang favorit saya, ditambah pula endorsement dari seorang Dan Brown, membuat saya dengan mudahnya berpikir bahwa buku ini pasti akan bagus sekali. Ekspektasi saya sangat besar pada novel ini. Tapi kemudian, setelah saya menamatkannya, ternyata hasilnya tak sesuai harapan. Saya cukup kecewa.
Hal yang sama juga terjadi di Januari ini, tapi dengan isu terbalik. Saya awal mengenal nama Cecelia Ahern adalah lewat beberapa bukunya yang bertema romance yang sering saya lihat di toko buku. Tema tersebut otomatis membuat bukunya tidak masuk hitungan sebagai buku yang akan saya baca. Akibatnya, saya enggan melirik buku-buku Ahern. Tapi kemudian saya memutuskan untuk mencoba membaca buku terbarunya yang berjudul One Hundred Names karena sampul dan sinopsisnya yang menarik, tentunya dengan risiko adanya adegan vulgar yang sudah saya perkirakan di awal. Setelah membacanya, persepsi saya terhadap Ahern sedikit berubah. Untungnya di buku ini, adegan yang membuat tak nyaman itu sangat minim. Saya mulai menyukai tulisan Ahern.
Menilai Berdasarkan Sinopsis
Selain penulis, saya sering pula menilai sebuah buku hanya dari sinopsisnya. Jika sinopsisnya menarik, saya bisa langsung memutuskan buku tersebut patut dibaca atau tidak. Yah, saya tahu kalau itu tidak baik. Tidak seharusnya kita menilai buku dari luarnya saja, kan? Tapi … yah … begitulah apa adanya saya. Kadang penilaian saya itu tepat, tapi kadang juga salah. Misalnya seperti buku The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared yang awalnya saya pikir mengandung unsur magis gara-gara kata “disappeared” dengan gambaran menghilang tiba-tiba di deskripsi novelnya. Ini karena saya sempat membaca di suatu tempat, entah di mana dan entah bagaimana, yang membuat saya berpikir demikian. Duh, betapa bodohnya saya! Dan ketika akhirnya saya membaca novel ini utuh, saya terkekeh geli, sebab buku ini benar-benar selera saya.
Sebaliknya, ekspektasi saya yang cukup tinggi atas buku Moshidora lagi-lagi terpaksa kandas tak sesuai harapan. Pasalnya, embel-embel di sampul yang menyebutkan bahwa penjualan buku tersebut mengalahkan penjualan novel Harry Potter di Jepang lantas membuat saya penasaran tingkat tinggi. Bagaimana isinya sampai-sampai berhasil mengalahkan Harry Potter? Pasti bagus sekali. Dan ternyata … yah … biasa saja. Tak sebombastis embel-embel di sampul. Tak setinggi harapan yang saya pasang di awal.
Kasus-kasus seperti ini sering kali saya perhatikan terjadi pada buku-buku dengan sinopsis yang begitu memukau, yang kadang-kadang tak sesuai dengan pesona isi yang sebenarnya. Ini tentu membuat pembaca agak kecewa. Sebaliknya, ada sinopsis yang tidak terlalu menarik, tapi ketika kita membacanya, ternyata isinya sangat bagus.
Menilai Berdasarkan Tema
Setiap pecinta buku pastilah sangat antusias dengan tema “Buku tentang Buku”. Nah, terkait dengan tema ini, dulu saya sempat memiliki ekspektasi tinggi atas buku Libri di Luca, buku bertema Books about book pertama yang saya baca. Saya mengira buku ini akan sangat keren karena ada orang-orang yang mampu mempengaruhi orang lain lewat buku yang dibacanya. Sama sekali tak terpikirkan oleh saya waktu itu bahwa ternyata kemampuan yang dimaksud di novel itu ada kaitannya dengan unsur magis atau indera keenam. Yah, kecewalah saya, meskipun buku itu isinya tetap bagus.
Kekecewaan itu kemudian terobati oleh buku Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken-nya Jostein Gaarder dengan tema yang sama. Meskipun ada embel-embel ‘ajaib’ pada judulnya, tapi isinya sama sekali tidak ada unsur magis.
Buku lainnya bertema sejenis yang baru-baru ini saya baca adalah Fahrenheit 451 tentang pembakaran buku-buku. Novel ini lagi-lagi sesuai dengan ekspektasi awal saya yang memang sangat berharap tema pembakaran buku-buku itu akan menyuguhkan sesuatu yang memesona.
Idiom Don’t judge a book by its cover sebenarnya berlaku bukan hanya pada sampul sebuah buku saja, melainkan juga pada genrenya, penulisnya, endorsement-nya, atau apa pun faktor luar dari sebuah buku. Kadang-kadang kita tergoda untuk membaca sebuah buku semata-mata karena penulisnya adalah seseorang yang kita sukai, tapi ketika selesai membacanya, kita kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi awal kita. Dan sering pula kita memutuskan untuk tidak akan membaca sebuah buku hanya karena genrenya yang bukan selera kita. Hal ini berlaku pula pada buku-buku nonfiksi.
Dari pengalaman yang sudah-sudah, menurut saya, menilai buku dari luarnya kadang-kadang memang dibutuhkan untuk buku-buku tertentu, terutama bagi saya pribadi, demi melindungi pikiran saya dari hal-hal buruk. Dan untuk sebagian buku-buku lainnya, menilainya dari luar saja tidaklah cukup. Membacanya secara utuh dan menelaah isinya akan lebih menghasilkan pandangan yang obyektif bagi pembaca. Namun tetap, keputusan menilai itu ada di tangan pembaca. Mari kita nilai buku-buku itu secara proporsional.
*Postingan opini bareng BBI dengan tema Ekspektasi
Nice post, mba Evyta.
Bagaimana dengan membeli dan membaca buku setelah diulas/review di beberapa blog? Rating Gooddreads? 🙂
Saya termasuk follower baru di http://www.lensabuku.com karena reviewnya nggak melulu fiksi. Jujur aja, ada buku-baru yg saya beli dan buku-lama yg dibacaulang stl baca reviewnya disini.
ulasan/review di blog maupun rating di Goodreads itu sifatnya relatif, tergantung cara pandang si pengulas/pembaca. setiap review atau rating yang diberikan biasanya menyesuaikan dengan pendapat pribadi masing-masing pembaca. tinggal kita saja yang pintar-pintar memilah mana yang kira-kira cocok dengan selera kita, mana yang tidak. kalau saya pribadi, batasan saya sudah jelas, beberapa genre tertentu memang tidak masuk ke dalam list saya. jadi kalau mencari/membeli buku, saya usahakan membeli buku-buku yang memang kira-kira sesuai dengan selera. ini berlaku untuk buku fiksi dan nonfiksi umum.
kalau khusus untuk buku-buku agama, saya lebih mengutamakan buku yang memiliki referensi valid/shahih, menghindari buku-buku pemikiran yang aneh-aneh.
umumnya review buku agama itu bagus-bagus dan banyak manfaatnya. beda dengan review buku umum yang memang kita perlu selektif juga. tinggal kita liat, dari 10 orang pereview, misalnya, kira-kira ada berapa orang yang memberi bintang tinggi atau ulasan yang bagus? kalau lebih banyak yang ngasih rating jelek, saya biasanya ga berminat membeli atau membacanya.
Libri di Luca, saya pernah baca tapi tak dilanjutkan karena bahasanya (bagi saya) membosankan 😛
*geleng-geleng* (ni anak maunya apa?)