Judul: Filosofi Kopi – Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Penulis: Dee
Penerbit: Truedee Books & GagasMedia
ISBN : 979-96257-3-4
Tebal: 134 hlm
Dimensi: 20,5 cm
Tahun terbit: 2006
Cetakan: Keempat, April 2006
Genre: Fiksi – Cerpen
Rating: 3/5
Filosofi Kopi adalah buku kedua Dee yang saya baca setelah Perahu Kertas. Dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya, gaya Dee bertutur masih tetap indah dan mengalir. Sederhana. Ketika seorang Goenawan Mohamad berkata, “Jika ada yang memikat pada Dee adalah cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus bukan hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona,” maka saya sangat setuju dengannya. Meskipun tak semua ide cerita di buku ini bisa saya sukai, tapi gaya Dee tetap saja nikmat, senikmat menyesap susu coklat di senja hari.
Buku yang saya miliki ini adalah versi sampul lama yang masih berwarna hitam. Buku ini berisi 18 kumpulan cerita dan prosa Dee selama satu dekade—tahun 1995 sampai 2005. Cerita yang paling saya suka sudah pasti adalah “Filosofi Kopi” yang berkisah tentang dua sahabat karib, Ben dan Jody, bersama suka dukanya mengelola kedai kopi yang unik. Tentu saja unik, sebab setiap pelanggan bisa menemukan dirinya sendiri di sana berdasarkan filosofi kopi yang mereka pesan. Itulah mengapa kedai mereka diberi nama Filosofi Kopi.
Ben adalah seorang barista andal yang sangat mencintai kopi. Ia bahkan berkeliling dunia untuk menyicipi kopi-kopi terenak yang pernah ada. Ia selalu senang mengajak pengunjung kedainya ngobrol seputar kopi, menunjukkan cara minum kopi yang nikmat, lalu dengan keajaiban kopinya, setiap pengunjung akan dibuat takjub setelah menyesap kopi-kopi mereka. Sedangkan Jody adalah pria dengan kemampuan manajerial dan akuntansi yang andal. Jadilah mereka dua sejoli yang saling melengkapi.
Suatu hari, Ben merasa tertantang oleh tawaran seorang pengunjung kedainya untuk membuat kopi yang sempurna. Berhari-hari ia tak peduli akan banyak hal kecuali percobaan demi percobaan racikan kopinya. Dan suatu hari, perjuangannya itu terbayar. Ben’s Perfecto akhirnya lahir dan menjadi kopi paling enak di kedainya, bahkan di dunia seperti pengakuan Ben. “Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup,” begitulah arti kopinya.
Tapi tampaknya peribahasa, “Di atas langit masih ada langit,” itu berlaku pula pada kopi Ben. Ada kopi lain yang lebih enak dari Ben’s Perfecto. Namanya kopi Tiwus, yang diracik oleh seorang bapak di sebuah desa nun jauh dari Jakarta. Ben merasa kalah dan nyaris saja menutup kedai kopinya. Lalu apa yang terjadi kemudian? Tak ada yang sempurna di dunia ini.
“…kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisa pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus…memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir.” (halaman 28)
Cerpen “Rico de Coro” juga unik dan asyik, sebab mengangkat tema ringan yang tak biasa tentang kehidupan kecoa dapur, yang kalau kita tilik lebih dalam akan memberikan multi makna bagi setiap pembacanya.
Selain cerita pendek, prosa Dee di buku ini hampir semuanya saya suka, tapi yang paling memberikan makna mendalam adalah prosa “Salju Gurun” dan “Spasi”. Pemaknaan Dee dalam setiap prakatanya selalu saja berhasil menyatu dengan indah, menyisakan pesona yang berbeda. Selalu.
“Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?” (“Spasi” halaman 97)
Selain dua cerita pendek tadi, cerita lainnya berkisar tentang cinta dua manusia. Meskipun masih dengan penuturan yang indah dan pemaknaan yang mendalam, namun tetap saja temanya kurang saya minati. Lain orang, lain pula minatnya. Tapi, cukup dengan satu cerpen “Filosofi Kopi” saja, maka buku ini benar-benar nikmat, hingga jika cerita-cerita lainnya tak diacuhkan pun, buku ini tetap nikmat. Membacanya membuat saya tergelitik penasaran, “Adakah kedai kopi seperti itu di dunia nyata Indonesia?” Jika ada, saya ingin sekali mengunjunginya.
Filosofi Kopi terbit pertama kali pada Februari 2006. Hingga tulisan ini dibuat, buku ini telah puluhan kali mengalami cetak ulang dengan sampul yang berbeda-beda. Dari penelusuran yang saya lakukan, setidaknya ada tiga versi sampul yang telah diterbitkan selain sampul hitam seperti yang saya miliki, dan ketiganya sama indahnya.
“Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula.” (“Jembatan Zaman” halaman 68)
Wooww.. ini adalah buku Dee yang saya sukai setelah SUPERNOVA episode PETIR! ada 2 cerita yg bikin nyesek bgt: Mencari Herman dan Lara Lana,, tpi tetep aja juaranya adalah FILKOP!
oh ya, ‘ide cerita’ yg mana yg gak mbak sukai?
yang “Surat yang Tak Pernah Sampai” karena ga ngerti blas maksudnya gimana haha. trus yang “Sepotong Kue Kuning”. eh iyaaa, Lara Lana kok ga saya masukin ya ke review ini. lupa! padahal ceritanya unik. di awal saya mikirnya Lana ini perempuan lho haha…taunya homo 😀
sama mbak, aq juga ngira lana ini cwek manis, eh maulana 😀
saya jadi makin penasaran sama bukunya. kena candu mbak DEWI LESTARI nich…