Judul: A Thousand Splendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerbit: Qanita
ISBN: 979-3269-68-9
Tebal: 516 hlm
Dimensi: 20,5 cm
Tahun terbit: April 2008
Cetakan: Kelima, April 2008
Genre: Fiksi Sosial
DDC: 813
Rating: 3/5
Hampir serupa dengan tema buku pertamanya “The Kite Runner”, di dalam buku ini Khaled masih mengangkat tema kemanusiaan dengan latar kondisi kelam Afghanistan saat pendudukan Soviet dan campur tangan pemerintahan Taliban. Awalnya saya begitu penasaran apakah buku keduanya ini sama menariknya dengan buku pertamanya atau tidak, namun setelah membacanya, satu ungkapan yang bisa saya katakan, “Menegangkan!”
Sejujurnya saya cukup dibuat bingung di awal oleh novel ini. Meskipun alur ceritanya datar dari awal sampai akhir, bukan maju-mundur, namun Khaled menuliskan kisah-kisah tokohnya secara melompat-lompat. Ini membuat saya harus bersabar membuka lembar demi lembarnya agar bisa memahami secara utuh cerita ini hingga selesai.
***
Bagian pertama novel ini mengisahkan tentang Mariam kecil yang lahir dari hasil hubungan gelap seorang saudagar kaya bernama Jalil dengan Nana, mantan pelayan di rumah Jalil. Di kebiasaan masyarakat setempat, harami atau anak haram (begitu mereka menyebutnya) tidak mendapat pengakuan di dalam keluarga. Mariam dan ibunya akhirnya terpaksa harus menyingkir dan hidup berdua di tempat yang cukup jauh dari kota.
Ayahnya sering mengunjungi Mariam, memberinya hadiah, menceritakan tentang kota Herat yang indah, tentang lezatnya es krim, gedung bioskop, dan banyak hal yang tidak pernah dirasakan Mariam sejak kecil. Keinginan Mariam untuk ikut Jalil ke Herat pun semakin kuat. Sayangnya, ibunya yang memiliki sifat yang sulit ditebak begitu membenci Jalil dan melarangnya pergi. Begitu pun Jalil yang sudah memiliki 3 orang istri sah tidak pernah mengizinkan Mariam untuk ikut.
Mariam tetap nekad pergi menemui Jalil. Sesampainya di Herat, ternyata Jalil tidak menginginkannya. Mariam pulang dengan membawa penyesalan dan kekecewaan. Kesedihannya bertambah ketika menemukan ibunya telah tewas gantung diri.
Cerdas. Inilah yang paling membuat saya terkesan, ketika Khaled mampu mengubah kisah hidup Mariam 180 derajat hanya lewat satu adegan saja, yaitu Mariam datang ke rumah Jalil.
Sepeninggal ibunya, Mariam yang berusia 15 tahun dijodohkan oleh Jalil dan istri-istrinya dengan seorang saudagar berusia 45 tahun bernama Rasheed. Ternyata kebahagiaan tak juga datang bagi Mariam, terlebih setelah ia keguguran. Suaminya menyiksanya dan menorehkan luka fisik maupun batin yang membuat hidupnya semakin menderita.
Adalah Laila, seorang gadis yang tinggal di dekat rumah Mariam. Khaled tiba-tiba bercerita tentang Laila dari A sampai Z hampir di seluruh bagian kedua novel ini. Selama perang tahun 1980 hingga 1990-an, sebuah roket meluluh-lantakkan rumah Laila dan menewaskan kedua orangtuanya. Kedua abangnya yang ikut berperang, serta Tariq sahabatnya yang dikabarkan telah meninggal setelah terpaksa mengungsi ke Pakistan, membuat Laila menjadi sebatang kara. Ia kemudian diasuh oleh Rasheed dan Mariam. Tapi ternyata Rasheed memiliki niat lain, ia menjadikan Laila istri kedua. Saat Laila hamil, ia begitu bahagia karena selalu diutamakan oleh Rasheed. Namun ketika ia melahirkan seorang anak perempuan bernama Aziza, yang sebenarnya adalah hasil hubungannya dengan Tariq, kehidupannya pun berubah persis seperti Mariam, disiksa dan dikasari. Bagaimana selanjutnya?
Di tengah-tengah penderitaan mereka, Laila dan Mariam tetap berusaha mencari ribuan sinar matahari untuk gelapnya dunia mereka. Inilah inti dari novel ini, bahwa di tengah-tengah kerasnya hidup dan penderitaan, tetap masih ada secercah harapan yang layak untuk diperjuangkan, a thousand splendid suns.
***
Menegangkan. Itulah hal yang paling membekas bagi saya saat membaca buku ini. Bom, rentetan senjata, pembunuhan, ditambah lagi kekerasan rumah tangga, ketidakadilan, amarah dan darah, seolah-olah membuat saya harus menahan nafas karena berada di tengah-tengah mereka, melihatnya namun tak bisa berbuat apa-apa.
Antara sepakat dan tidak sepakat. Novel ini memang mengangkat realita sosial di Afghanistan, bahwa sebagian besar begitulah adanya. Wanita yang diperlakukan dengan tidak layak, kedudukan laki-laki dan perempuan yang tidak proporsional, serta hal-hal lainnya yang terjadi ketika manusia tidak memahami secara utuh ajaran moral dan agamanya. Saya sepakat ketika Khaled mengangkat tema ini, sebab inilah realita.
Sejujurnya, saat membacanya, di kepala saya juga melintas ketidaksepakatan atas ketidakutuhan informasi yang terselip di dalam novel. Secara emosional, sebagian pembaca mungkin saja akan meyakini bahwa Islam, sebagai agama yang dianut oleh tokoh dalam novel, memang dipenuhi oleh hal-hal semacam itu. Pengekangan dan kekerasan, perlakuan tidak adil dan tak bermoral, begitupun konsep poligami yang diterapkan secara salah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut saya, ini bisa saja mengarahkan opini pembaca bahwa Islam memang seperti itu. Padahal idealnya, pesan bahwa Islam yang sesungguhnya itu universal, penuh kasih sayang, adil, dan memuliakan wanita, juga sebaiknya bisa diselipkan sebagai pembanding, tentunya masih dalam konteks fiksi.
Tetapi lagi-lagi, bila ini harus dipaksakan untuk ditambahkan, tentu saja akan membuat novel ini menjadi terkesan kurang natural. Apakah ini termasuk kelemahan atau tidak, biarlah ini menjadi pendapat pribadi saya saja. Artinya dalam hal ini dibutuhkan kemampuan filter si pembaca terhadap informasi yang ada di buku. Sekali lagi, ini adalah fiksi, yang mengangkat realita sosial budaya di sebuah negara.
Meninggalkan banyak harapan. Saya kurang terpuaskan bila membaca buku atau menonton film dengan akhir yang menyedihkan (sad ending), tapi inilah yang terjadi di dalam kisah hidup Mariam. Saya rasa tokoh Mariam ini sejak kecil hingga akhir hidupnya tidak pernah merasakan kebahagiaan, hingga ia menjalani hukuman mati. Setelah selesai membacanya, saya berharap Mariam bisa hidup bahagia bersama Laila, Tariq dan kedua anaknya. Begitu juga dengan Laila yang sebaiknya tidak pulang dulu ke kampung halamannya karena situasi masih belum aman. Tapi kecintaannya untuk membangun negerinya ternyata sanggup meluluhkan ego.
“A Thousand Splendid Suns” memang sangat mengharukan dan mengguncang emosi. Tak salah jika media di USA menyatakan bahwa novel ini sanggup membuat emosi terkoyak dan serasa teraduk-aduk. Itulah kelebihan buku ini menurut saya. Khaled mampu menampilkan kisah luar biasa dan membuat emosional pembaca seakan terbawa suasana akan kisah yang disuguhkan. Bagi para pecinta novel bertema sosial, buku ini layak baca.
Selesai dibaca: 10 Desember 2008