99 cahaya di langit eropaJudul: 99 Cahaya di Langit Eropa – Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-979-22-7274-1
Tebal: 414 hlm
Tahun terbit: 2011
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Perjalanan
Rating: 5/5

Jika ditanya tentang benua Eropa, umumnya yang terlintas di benak kebanyakan orang adalah segala hal yang indah-indah, termasuk berbagai tempat dan bangunan terkenal yang memikat hati seperti Menara Eiffel, kota air Venesia, Istana Versailles, dan lain sebagainya. Pun ada banyak buku yang kemudian memberikan panduan berwisata murah dan mudah di Eropa yang cukup digandrungi orang-orang. Tapi, berbeda dari buku-buku tersebut, Hanum Salsabiela Rais dalam bukunya ini memiliki pandangan tersendiri tentang perjalanannya di Eropa.

Bahwa hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekadar menikmati keindahan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekadar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya. Menurutnya, makna sebuah perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari Mekkah ke Madinah. Inilah salah satu alasan yang kemudian melatar belakangi Hanum dan suaminya Rangga menuliskan kisah perjalanan dan kehidupan mereka selama di Eropa dalam buku 99 Cahaya di Langit Eropa.

Buku ini semacam novel yang diangkat dari kisah nyata perjalanan mereka, mulai dari Istana Schoenbrunn di Austria hingga Museum Louvre di Paris yang mengingatkan kita pada novel The Da Vinci Code. Lalu Mezquita di Cordoba hingga Hagia Sophia di Istanbul yang mengingatkan kita pada perjalanan Robert Langdon di Inferno. Bersama Fatma dan Marion, teman baru Hanum, mereka menapak tilasi jejak-jejak sejarah peradaban Islam di masa lalu. Kalau saat ini ada anggapan bahwa orang timur terjangkit penyakit mengidolakan barat, maka siapa yang pernah menyangka jika dahulu di Eropa sana, barat justru pernah mengidolakan timur. Hal ini bisa dilihat dari berbagai peninggalan sejarah di museum-museum Eropa seperti lukisan, mantel raja, serta barang pecah belah yang mengandung pengaruh budaya timur seperti kaligrafi Kufic dengan torehan tulisan arab kuno.

Selain itu, di abad pertengahan, Eropa pernah mengalami masa tergelapnya disebabkan terpisahnya agama dan ilmu pengetahuan yang didengung-dengungkan oleh gereja. Islam lalu hadir memberikan solusi lewat ilmu pengetahuan dan budaya akhlak dengan kehadiran ilmuwan-ilmuwan Islam seperti salah satunya Averrous atau Ibnu Rusydi. Agama dan ilmu pengetahuan haruslah sejalan. Lewat kelembutan dan kemanfaatan muslim saat itu, tak disangka perubahan tersebut membawa pengaruh besar bagi terciptanya zaman Renaissance di Eropa.

Sayangnya, masyarakat Eropa hanya mengambil opsi ilmu pengetahuan saja dari Averrous. Kejadian masa lalu membuat mereka tak ingin bercengkrama lagi dengan opsi agama. Ilmu pengetahuan menjadi Tuhan. Paham ateisme dan sekulerisme merebak luas di Eropa. Orang-orang sudah apatis dan tidak ingin percaya lagi pada agama. Orang menjadi tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Inilah juga yang ditemui Hanum dan Rangga dalam perjalanannya.

Islam dulu sempat jaya di Eropa. Ya, itu benar. Islam dulu adalah peradaban paling terang-benderang di dunia. Namun, beratus-ratus tahun kemudian, agaknya hal tersebut harus dengan lapang dada kita terima sebagai sejarah dan nostalgia. Islam kini lebih dikenal dengan kekerasan dan tindakan radikal. Islam dicap sebagai agama teroris. Peristiwa 11 September WTC dan bom bunuh diri di berbagai tempat lebih dikenal orang barat ketimbang hal-hal mendasar seperti kasih sayang dan kebaikan. Sungguh ironis. Sebuah kebalikan yang sangat ironis dari kejayaannya di masa lalu. Dan lewat buku ini, Hanum ingin menunjukkan alasan lainnya mengapa ia perlu melakukan perjalanan ke negara-negara di Eropa.

Ia ingin kita memahami benang merah antara sejarah dan eksistensi muslim hari ini. Bahwa muslim yang sebenarnya bukanlah seperti anggapan orang-orang barat. Muslim yang sesungguhnya adalah yang bersikap lemah lembut lagi baik akhlaknya seperti yang dicontohkan rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi kita sekarang haruslah menjadi agen muslim yang baik, yang menjadi cahaya bagi orang-orang di sekitarnya, sebab laron hanya akan mendatangi cahaya, bukan kegelapan.

“Aku yakin, sebagian besar manusia yang berpindah agama untuk memeluk Islam bukanlah mereka yang terpengaruh debat dan diskusi antaragama. Bukan karena terpaksa karena menikah dengan pasangan. Bukan karena mereka mendengarkan ceramah agama Islam yang berat dan tak terjamah oleh pikiran awam manusia. Bukan karena semua itu. Sebagaimana Esra yang tadinya apatis pada agama, dia jatuh cinta kepada Islam karena pesona umat pemeluknya. Seperti Latife yang selalu mengumbar senyumnya. Seperti Fatma yang membalas perlakuan turis bule di Kahlenberg dengan traktiran dan memberikan alamat email untuk membuka perkenalan. Seperti Natalie yang percaya restoran ikhlasnya bisa merekahkan kebahagiaan para pelanggan. Saat itu aku yakin, orang-orang ini memahami dan mengerjakan tuntunan Islam dengan kafah. Mereka paham bahwa dengan mengucap syahadah, melekat kewajiban sebagai manusia yang harus terus memancarkan cahaya Islam sepanjang zaman dengan keteduhan dan kasih sayang.” (halaman 94)

“Yang paling penting dari mempelajari sejarah adalah bukan hanya kemampuan menjabarkan siapa yang menang siapa yang kalah, melainkan mengadaptasi semangat untuk terus menatap ke depan, mengambil sikap bijak darinya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia” (halaman 352)

Novel ini tak sekadar novel perjalanan. Selain menyuguhkan konsep bisnis restoran ikhlas serta kondisi masyarakat muslim Eropa saat ini, buku ini juga menyuguhkan banyak teka-teki sejarah pada kita. Benarkah Napoleon Bonaparte pernah tersentuh oleh Islam? Bagaimana dulu para sultan memperlakukan masyarakat multi agama di Eropa? Ada banyak wawasan baru yang saya dapati dari novel ini.

Selain itu, novel ini juga membawa kita pada cakrawala berpikir muslim tentang masa depan nanti. Bahwa generasi muda muslim haruslah senantiasa menjadi agen muslim yang baik, yang mencintai agama dan imannya, melaksanakan perintah Tuhan sebaik-baiknya, dan terus belajar mengejar ilmu pengetahuan seperti pendahulu-pendahulu kita. Ilmu akan membawa pengejarnya pada pelita dan derajat iman yang lebih tinggi. Jika bukan kita yang memperbaiki kondisi saat ini, siapa lagi yang akan melakukannya?

Buku ini sangat layak dibaca dan dikoleksi. Tak berlebihan jika saya memberikan rating 5 dari 5 untuk 99 Cahaya di Langit Eropa. Bahkan buku ini sekarang telah diangkat ke layar lebar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. Hmm…jadi ingin membaca buku berikutnya yang berjudul Berjalan di atas Cahaya. Saya juga sudah membuatkan dokumentasi gambar-gambar berbagai tempat yang dibicarakan oleh Hanum dalam novel ini. Anda bisa menikmatinya di halaman ini. Semoga dengan melihat keindahannya, muslim akan bertambah imannya dan mulai memperbaiki diri terus-menerus.

“Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.” ~ pepatah Arab dalam Kufic yang terdapat di benda-benda peninggalan sejarah Islam (halaman 155)