hingga detak jantungku berhentiJudul: Hingga Detak Jantungku Berhenti
Penulis: Nurul F. Huda
Penerbit: Jendela
Tahun terbit: Maret 2011
ISBN: 9789790636262
Halaman: 272

Pertama kali mengetahui informasi tentang buku ini, saya tersentak, sebab pada saat itu, informasi buku ini bersamaan dengan kabar bahwa mbak Nurul F. Huda, penulis buku ini dan salah satu penulis favorit saya, sedang dalam keadaan koma. Saya membacanya di beranda Facebook salah seorang teman bahwa sedang diadakan penggalangan dana lewat penjualan buku-buku beliau untuk membantu biaya perawatan di rumah sakit. Usut punya usut, ternyata penyakit yang beliau derita sudah komplikasi jantung dan paru-paru. Yang membuat saya terkejut adalah jenis penyakit jantungnya, yaitu RHD (Rheumatic Heart Disease) atau penyakit jantung reumatik. Merasa senasib dan ingin membantu, saya pun membeli buku itu.

Sebenarnya apa itu RHD? Apakah sama jantung reumatik dengan reumatik? Tidak. Penyakit jantung reumatik adalah kondisi terjadinya kerusakan permanen pada katup-katup jantung, yang bisa jadi berupa kebocoran atau penyempitan. Umumnya kerusakan ini disebabkan oleh demam reumatik yang timbul karena infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A. Gambaran sederhananya, pada kondisi katup jantung terinfeksi, gerakan buka-tutup katup menjadi tidak normal. Salah satunya bisa lebih cepat atau lambat, atau bahkan kedua katup itu bergerak lebih cepat atau lambat. Hal ini membuat irama jantung dan peredaran keluar masuknya darah jadi berubah. Yang seharusnya suplai darah adalah 100%, karena kerusakan ini kemudian berubah menjadi lebih sedikit. Hasilnya darah yang beredar jadi berkurang dan seluruh organ mengalami pengurangan jatah darah dari yang seharusnya. Inilah yang kemudian menyebabkan tubuh cepat lelah, sesak nafas, kesemutan, bahkan nyeri sendi yang berpindah-pindah seperti penyakit reumatik. Kadang-kadang jika terlalu lelah, nyeri di bagian jantung juga bisa dirasakan. Para pengidap RHD harus selalu mengonsumsi antibiotik untuk membersihkan infeksi bakteri tersebut dan mencegah terjadinya demam reumatik lanjutan.

Nah, buku Hingga Detak Jantungku Berhenti ini merupakan memoar Nurul F. Huda yang menceritakan perjalanan penyakit jantung reumatiknya dari usia anak-anak hingga dewasa, termasuk konsekuensi yang harus ia terima dalam hidupnya. Di buku ini ia bercerita bagaimana sejak kecil ia sudah mengalami kelainan katup jantung dan harus diganti dengan katup platina. Dengan perjuangan keras orangtuanya, ia kemudian bisa menikmati hari-hari normal. Tidak perlu merasakan sesak di dada lagi, tidak perlu pingsan lagi. Katup platina itu adalah anugerah baginya. Sebelum katup jantungnya diganti platina, ia sering mengalami sesak nafas, bahkan dadanya serasa penuh oleh cairan karena katup alaminya sudah tidak mampu bekerja secara normal. Kini setiap detik dalam hidupnya, ia akan selalu mendengar bunyi tik tik tik dari katup platina di dalam tubuh. Ia juga harus minum obat pengencer darah agar kerja katup buatan itu tidak terlalu berat, sebab para penderita RHD umumnya memiliki darah yang lebih kental. Ia pun harus selalu berhati-hati bila hujan petir datang karena khawatir platinanya tersambar sengatan petir.

Nurul kecil kemudian dewasa dan kuliah, masih dengan katup platinanya. Setelah berumah tangga, ia harus selalu berkonsultasi pada dokter untuk setiap keputusan yang harus diambil terkait tubuhnya. Misalnya saat hamil, saat melahirkan, saat sakit ini itu, segala yang diputuskan harus menimbang efek baik buruk untuk jantungnya. Suatu ketika, rumah tangganya diberi cobaan berat. Ia harus menerima dirinya sebagai single parent dan mengalami luka batin yang sangat. Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana perjuangan Nurul F. Huda dalam menjalani hari-harinya dengan penyakit kronis itu?

Buku ini membuat saya sesenggukan berkali-kali. Bukan karena sedih. Well, sedih juga sih, tetapi lebih karena malu dan rendah diri, mengingat RHD Mbak Nurul lebih parah dari RHD yang saya alami. Meskipun kami sama-sama mengalami sesak nafas, dada berat, cepat lelah dan nyeri sendi, tetapi saya tidak sampai pingsan dan tidak mengalaminya sejak kecil. Sementara itu Mbak Nurul, sejak kecil ia sudah mengalami ujian berat, pun ia tetap menjalani hidupnya dengan semangat. Meskipun dengan katup platina kerja jantung bisa jadi lebih baik, tapi katup saya belum membutuhkan tindakan operasi, begitu kata dokter. Jantung saya hanya perlu mengonsumsi obat saja hingga kondisinya kembali seperti semula. Walaupun saya tidak tahu entah sampai kapan itu terjadi, pastinya saya belum ingin katup saya diganti.

Mengapa buku ini sangat berpengaruh bagi saya? Saya membaca buku ini pada bulan Mei 2011, sekitar 2,5 tahun setelah diagnosa RHD saya diputuskan. Sebelum saya membaca buku ini, saya sudah menerima kondisi diri saya. Masa-masa berat mental dan fisik saya hanya berlangsung setahun saja di tahun 2009. Namun tetap saja terkadang saya masih merasa kurang beruntung dan sedih, hingga saya membaca buku Mbak Nurul ini. Buku inilah yang terus menyadarkan saya untuk tidak meratapi nasib, untuk tidak kecewa, untuk tidak mengeluh, untuk tidak menyerah, untuk tetap hidup dengan benar dan bahagia. Penulis yang sakitnya lebih berat saja bisa sangat produktif dan melakukan banyak hal, masa saya yang tidak lebih parah harus stagnan? Hidup harus move on.

Hingga Detak Jantungku Berhenti ditulis Mbak Nurul dalam keadaan sakit. Di bagian awal ia menuliskan alasan mengapa ia menulis buku ini, yang tadinya enggan ia lakukan. Di bagian akhir bukunya ada kesan cerita ini terpaksa berakhir terburu-buru. Mungkin pada saat itu beliau sedang dalam kondisi kurang baik. Ada banyak kesamaan yang saya rasakan. Apa yang ia rasa, saya juga memahami. Apa yang ia khawatirkan, saya pun merasakannya. Ada satu kalimat yang menohok saya. Mbak Nurul menuliskan di dalam bukunya begini,

“Mengapa aku bisa terkena kelainan jantung? Pertanyaan itu hampir meletus menjadi, Tuhan, mengapa Engkau timpakan kemalangan seperti ini kepadaku?! Apakah ini hukuman?”

Ya Allaah…saat itu saya malu karena kalimat seperti itu pernah saya ucapkan di awal-awal diagnosa. Saya merasa begitu terpuruk dan terpojok di sudut kamar seakan kehilangan pegangan. Duh, seperti tak punya iman saja saya. Tapi syukurnya saya bisa bangkit dari sana. Maka, ketika membaca buku ini, ada kesedihan yang memotivasi, ada kesyukuran. Ia mampu menggerakkan jiwa untuk bermanfaat dan tidak mudah menyerah. Buku ini membuat saya mengevaluasi diri, sudah seberapa manfaatkah kita bagi orang lain? Saya mencoba menatap rumah masa depan di akhirat kelak, mengumpulkan bekal semaksimal mungkin dan mengingatkan jiwa agar tidak kerdil.

Sejak lama saya tidak pernah suka mengulas kondisi RHD saya karena saya tidak ingin mengeksploitasi penyakit itu agar orang-orang kasihan pada saya. Tidak. Semoga ini kali terakhir saya mengulasnya berhubung latar belakang ini harus saya tuliskan terkait buku yang saya baca. Tapi, apa yang dilakukan oleh Mbak Nurul lewat buku ini, yang menceritakan riwayat penyakit dan kondisi hidupnya, kemudian membuka mata saya kembali bahwa segala sesuatunya itu tergantung niat. Justru apa yang dilakukan Mbak Nurul ini menjadi semacam motivasi penyadaran bagi banyak orang. Justru yang ia lakukan memberikan kebaikan bagi siapa saja agar ‘melek’ tentang kehidupan. Yang tidak boleh adalah mengeluh dan bukan itu yang dilakukan Mbak Nurul. Ia membuat karya yang positif ketimbang berkeluh kesah.

Seorang Cahyadi Takariawan memberikan pengantarnya dalam buku ini. Begini penggalan kata-katanya yang cukup memotivasi saya.

Saya sering memberikan gambaran tiga sikap manusia menghadapi ujian. Pertama, orang yang selalu mengeluh dengan keadaan yang dihadapinya. “Berat sekali ujian yang aku alami”, begitu ia selalu mengeluh setiap hari. Mereka ini harus kita hibur dan kita katakan, “Bersabarlah dengan apa yang engkau hadapi”. Kedua, orang yang menganggap ringan ujian yang dihadapi. “Kalau ujian seperti ini sih biasa”, begitu mereka merasakan. Kepada mereka ini kita katakan, “Istiqamahlah kalian”. Ketiga, orang yang menikmati ujian yang dihadapi. “Ujian ini yang membuat saya bergairah dalam hidup”, demikian ungkapannya. Kepada mereka kita katakan, “Selamat atas sikap kalian yang sangat positif, dan berbahagialah kalian”.

Dan Mbak Nurul masuk ke poin ketiga. Saya pun ingin bahagia dengan jalan hidup yang telah Allah berikan, seperti bahagianya Mbak Nurul yang memiliki banyak prestasi dan karya, anak yang hebat-hebat, bisnis yang berkembang, tebaran manfaat di banyak tempat, juga hati yang ikhlas dan menerima. Sungguh, ada banyak sekali nasihat dalam buku ini.

Nurul F. Huda adalah nama pena dari Nurul Fithroini Aniyatil Azizah. Ia besar di lingkungan pecinta buku dan sudah akrab dengan buku sejak kecil. Perempuan kelahiran 5 Oktober 1975 ini telah memiliki banyak sekali karya berupa buku maupun tulisan-tulisan di berbagai majalah Bobo, Amanah, Ummi, Annida, Paras, Sabili sejak 1995. Beberapa hari setelah saya membaca informasi tentang kondisi koma beliau, Allaah kemudian memanggilnya pulang. Semoga Allaah memberikan tempat terbaik bagi beliau.