the_professor_and_the_madmanJudul: The Professor and the Madman
Penulis: Simon Winchester
Judul Asli: The Professor and the Madman
Alih Bahasa: Bern Hidayat
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
ISBN: 979-1112-53-3
Tebal: 344 hlm
Dimensi: 13 x 20,5 cm
Tahun terbit: 2007
Cetakan: ke 2, Maret 2007
Genre: Fiksi Sejarah
Rating: 4/5

Siapa yang akan menyangka jika pembuatan kamus paling terkenal di dunia, Oxford English Dictionary, dibantu banyak oleh seorang penghuni rumah sakit jiwa? Yup. Dr. William Chester Minor, seorang ahli bedah dan mantan perwira AD yang merupakan kontributor utama pembuatan kamus tersebut, adalah orang yang mendekam di St. Elizabeth’s Asylum karena menderita Skizofrenia. Ia terpaksa harus dipenjara di RSJ itu karena telah membunuh George Marret di Lambeth Marsh akibat penyakitnya. Inilah buku yang memaparkan kisah pembuatan kamus bahasa Inggris nomor wahid di dunia itu.

Minor ditempatkan di salah satu sel di Blok 2 yang disebut juga Essex House. Meskipun ia dipenjara di sel RS tersebut, tapi ia diberikan beberapa kelebihan mengingat status sosialnya yang tinggi. Ia diberi kamar ganda dengan pintu penghubung dan menyulap kamarnya menjadi sebuah perpustakaan dengan memboyong buku-buku dan sejumlah perabotnya dari rumah.

Sementara itu, di lain tempat, para ahli dan pakar bahasa Inggris tengah giat memelopori penyusunan kamus bahasa Inggris yang lengkap. Mereka berpendapat bahwa dengan tersebarnya bahasa Inggris ke seluruh dunia, maka penyebaran agama Kristen pun akan semakin luas, sebab hal ini memiliki dampak yang sejalan.

Selain itu, konsep kamus baru dikenal pada akhir abad ke-17. Saat Shakespeare menulis karya-karyanya, banyak istilah yang asing atau tak umum. Ia diperkirakan mengambil istilah-istilah klasik itu dari sebuah Thesaurus karya Thomas Cooper, yang banyak sekali mengandung kesalahan. Pada abad ke-16 di Inggris, kamus seperti yang kita kenal sekarang ini belumlah ada sama sekali. Bayangkan saja, saat itu orang-orang membaca buku tanpa mengetahui arti sebenarnya dari sebuah ungkapan atau kata. Ibarat berjalan di ruangan gelap, tanpa pegangan, tanpa cahaya. Bahasa Inggris sendiri berkembang cukup pesat, namun tak ada satu pun panduan yang menjelaskan asal-usul kata tersebut, defenisi maupun pengucapannya. Inilah yang melatarbelakangi para pakar bahasa untuk menyusun sebuah kamus.

“Barangkali sulit membayangkan orang yang benaknya begitu kreatif bekerja tanpa satu pun buku referensi leksikografis di sampingnya, selain contekan dari Mr. Cooper serta pedoman dari Mr. Wilson. Namun, di bawah kondisi inilah genius kita yang satu itu terpaksa berkembang. Bahasa Inggris bersifat lisan maupun tulisan, tetapi di zaman Shakespeare bahasa tersebut belum didefenisikan, belum ditata.” (halaman 126)

Pada mulanya, telah banyak pembuat kamus terkenal di abad ke-17 dan 18. Karya mereka sangat luar biasa, mengingat itu adalah awal kebangkitan dunia leksikografi Inggris. Ada Thomas Elyot, Robert Cawdrey, Henry Cockeram, Nathaniel Bailey dan Samuel Jhonson yang kesemuanya menyusun kamus hanya untuk kata-kata tertentu saja. Tetapi, pembuatan kamus dengan konsep yang betul-betul baru adalah proyek yang digalang oleh Richard Chevenix Trench. Menurutnya, kamus seharusnya adalah catatan seluruh kata-kata yang pernah hidup dalam bahasa standar, dan tidak hanya menunjukkan makna, tetapi juga sejarah rentang hidup dari tiap-tiap kata.

Akhirnya gagasan Trench inilah yang kemudian diputuskan untuk dilakukan. Namun dalam rentang waktu yang cukup lama, proyek ini mengalami perkembangan yang lambat, mengingat para penggeraknya satu demi satu meninggal. Hingga akhirnya muncullah Dr. James Murray, seorang anak penjahit dan pedagang kain. Ia tak pernah menamatkan sekolah dasar karena tidak memiliki biaya, tapi ia sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia belajar sendiri berbagai macam bahasa dan lihai menghitung peredaran bintang. Ia melanjutkan proyek ini dengan beberapa perubahan yang lebih baik. Tim pun dibentuk. Undangan untuk sukarelawan disebarkan.

Takdir memang memiliki jalannya sendiri. Salah satu selebaran undangan tersebut sampai juga ke sel Minor. Minor pun mendaftarkan dirinya lewat surat sebagai seorang sukarelawan. Selama 10 tahun dirawat, Minor menunjukkan kemerosotan kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Ia terisolasi dari dunia luar dan intelektual. Delusi-delusinya meningkat, namun kecerdasan intelektualnya pun semakin meningkat tajam. Ini sangat berguna ketika ia mulai menjadi relawan penyusunan kamus. Minor menjadi semakin bersemangat. Ia mulai menyusun kata demi kata sesuai batasan tahun dan masa yang diberikan oleh tim penyusun kamus. Koleksi bukunya sangat hebat dan menyimpan harta karun yang berharga bagi pembuatan kamus tersebut.

Minor memiliki metode sendiri yang sangat unik dalam menyusun kata-kata yang ia temukan. Ia membuat sebuah buklet, semacam master file, sehingga jika tim penyusun kamus membutuhkan kata tertentu, maka ia cukup mengirimkan data dari kata itu saja. Pekerjaan tim penyusun menjadi sangat efektif sejak adanya kontribusi dari Minor.

James Murray begitu kagum pada sahabat jauhnya ini. Ia semakin ingin bertemu dengan Minor. Murray dan Minor memiliki banyak sekali kesamaan fisik dan intelektual. Apakah Murray berhasil bertemu dengan Minor? Lalu apa yang akan terjadi dengan Minor selanjutnya saat seluruh kenyamanan kamarnya diambil paksa?

Novel yang ditulis oleh penulis buku Krakatau ini memang tidak bisa disebut sebuah novel sastra dengan kata-kata indah atau kalimat-kalimat memukau. Saya sendiri merasakan novel ini lebih seperti catatan sejarah, namun dengan bahasa yang lebih nyaman dibaca dibandingkan buku teks sejarah yang sebenarnya. Hasil terjemahannya juga cukup, masih enak dibaca.

Lewat buku ini, pembaca akan menemukan sebuah ironi, antara penyakit kejiwaan seorang Minor dengan kesuksesan pembuatan kamus Oxford English Dictionary. Betapa tidak, semakin parah penyakit Minor, daya kerjanya semakin jenius dan tak kenal lelah. Orang-orang skizofrenia umumnya bisa melakukan pekerjaan tanpa kenal lelah, cerdas dan semangat yang tinggi.

Pada masa itu, penyakit Minor belumlah terdefenisi dengan baik, sehingga penanganan dan obat-obatan tidaklah memadai. Ia diperlakukan sama seperti orang sakit jiwa lainnya, padahal sebenarnya jauh berbeda. Ironi inilah yang memang sangat menyedihkan. Jika Minor dirawat dengan tepat, mungkin sebuah kamus OED tidak akan terwujud sebaik sekarang. Saat sebuah kamus menemui posisi kesuksesan paling tingginya, seorang kontributor utamanya justru menemui kondisi kesehatan paling rendah dalam hidupnya. Akhir kehidupan Minor sangat ironis.

Novel ini berhasil menyentuh sisi lain dunia bahasa dari setiap bangsa, apalagi bagi Indonesia. Mengutip pernyataan yang ada di sinopsis bahwa, “Bahasa adalah milik masyarakat luas dan dikembangkan oleh masyarakat luas, bukan oleh polisi-polisi bahasa,” maka tampaknya hal ini bisa menjadi bahan acuan atau kritik terhadap dunia leksikografi kita.

Jika orang Inggris saja bangga akan kekayaan kata dan bahasanya, mengapa kita tidak bangga? Siapa tahu saja suatu saat, kata-kata pasaran atau gaul yang sudah tersebar luas di Indonesia itu akan masuk ke dalam kamus besar, berikut dengan sejarahnya. Andai Indonesia memiliki kamus seperti OED, betapa nikmatnya menelusuri sejarah sebuah kata dari waktu ke waktu.