Judul: Pope Joan
Penulis: Donna Woolfolk Cros
Penerjemah: FX Dono Sunardi
Penerbit: Serambi
ISBN: 979-1112-43-6
Tebal: 736 hal
Dimensi: 15 x 23cm
Tahun terbit: Januari 2007
Cetakan: ke I
Genre: Fiksi Sejarah
Rating: 3/5
Pope Joan adalah buku yang menarik. Ketika pertama kali saya melihat buku ini di sebuah kios bazar buku murah di Medan, saya langsung tertarik membaca judulnya. Rasa penasaran membawa saya melihat sinopsis di sampul belakangnya dan beberapa pujian yang didapatkan atas buku ini. Beruntung, saya bisa membelinya dengan harga yang sangat murah, diskon hampir 80%.
Pope Joan bercerita tentang kisah legenda seorang perempuan cerdas bernama Joan atau Yohana di abad kesembilan yang kemudian takdir membawanya pada posisi kepemimpinan tertinggi kepausan. A woman? Yup, seorang paus perempuan, yang legendanya cukup kontroversial. Novel ini bahkan telah diangkat ke layar lebar pada tahun 2009.
***
Joan kecil terlahir dengan kecerdasan alami. Ibunya bernama Gudrun, seorang wanita dari bangsa Xason dengan rambut panjang keemasan. Ayahnya adalah seorang Kanon desa (semacam pendeta atau imam) dengan sifat pemarah dan memiliki pemikiran kuno. Menurutnya, anak perempuan hanya akan membuatnya sial, sebab dosa turun dari kaum perempuan. Inilah yang membuatnya kecewa ketika Joan lahir, karena Joan adalah perempuan.
Joan sangat berbeda dengan anak perempuan kebanyakan. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk belajar, tidak mudah menerima keadaan, serta memiliki daya pikir dan analisa yang jauh melebihi anak seusianya. Tapi sayang, kemampuannya itu tidak difasilitasi oleh ayahnya. Pada masa itu, perempuan memiliki kedudukan yang sangat rendah dibanding laki-laki. Mereka tidak diperbolehkan membaca dan menulis. Bila ada pelajaran membaca dan menulis, itu hanya boleh diperuntukkan bagi laki-laki. Bila ada sekolah, itu pun hanya bagi kaum laki-laki. Beruntung bagi Joan yang memiliki kakak laki-laki yang baik seperti Matthew. Joan kecil selalu mendengarkan dengan tekun ketika kakaknya Matthew mendapat pengajaran. Kadang-kadang Matthew mengajarinya baca tulis secara sembunyi-sembunyi, sebab jika ayahnya tahu, Joan pasti akan menerima pukulan demi pukulan dari kemaharan sang Kanon.
John adalah kakak kedua Joan. Berbeda dengan Matthew dan Joan yang pintar, John justru sebaliknya, lemah dalam pelajaran. Tapi, sepintar-pintarnya Joan, ia tetaplah anak perempuan yang selalu saja menjadi sasaran amarah sang ayah setiap kali menunjukkan kecerdasannya. Menjadi pintar itu terlarang dan dosa baginya.
“Aku dapat membaca tulisan dalam bahasa Latin, sedang Jhon tidak,” pikirnya dengan keras kepala. “Kenapa aku tidak boleh hanya karena aku seorang anak perempuan?” (halaman 52)
Kanon telah mempersiapkan Matthew untuk masuk ke schola, semacam sekolah pendidikan untuk akademisi dan jenjang karir keimaman. Sayangnya, Matthew akhirnya meninggal dunia karena sakit. Joan merasa sangat kehilangan Matthew. Tidak ada lagi yang akan mengajarinya membaca dan menulis. Parahnya lagi, ayahnya yang kemudian tahu bahwa Joan sering belajar bersama Matthew menjadi sangat marah dan menyalahkan dosa Joan atas kematian Matthew.
Mujur bagi Joan, kehidupannya kemudian akan berubah ketika seorang Yunani terpelajar, Aesculapius, datang ke rumahnya. Pada sebuah kesempatan, Joan akhirnya berhasil memperlihatkan kemampuan otaknya di hadapan Aesculapius dan ayahnya. Jika ayahnya marah besar, Aesculapius justru sangat kagum dan antusias. Ia kemudian memberikan pengajaran pendidikan untuk Joan dari tangannya sendiri.
“Malam ini, ketika mendengarkan kata-kata Aesculapius, ia menemukan bahwa kecintaannya pada pengetahuan bukanlah hal yang buruk atau berdosa, tetapi merupakan akibat langsung dari kemampuan yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia untuk menggunakan akalnya. Aku berpikir, maka Tuhan Ada.” (halaman 62)
Joan memiliki tekad yang luar biasa dalam belajar. Di tengah-tengah kegelapan malam, ia sanggup melahap lembar demi lembar buku pemberian Aesculapius yang sangat berharga hanya berbekal sebatang lilin. Kesabarannya ini kemudian membuahkan hasil. Ia dan John akhirnya dijemput oleh utusan uskup untuk belajar di schola. Di sana ia bertemu dengan Gerold, orang tua angkatnya, yang di kemudian hari menjadi kekasihnya.
Saat Joan merasakan indahnya hidup bersama keluarga Gerold beserta anak istrinya, tiba-tiba desa mereka diserbu oleh bangsa Viking. Saat itu Gerold sedang tidak berada di desa. Kakaknya John dan orang-orang yang dikenalnya meninggal. Joan muda selamat dan menggunakan identitas kakaknya untuk masuk ke pertapaan Benediktin. Ia menyamar sebagai Bruder John Anglicus dan kemudian dikenal luas sebagai seorang tabib dan akademisi. Dari sinilah petualangan dan karirnya mulai terangkat.
Cross selanjutnya mengisahkan pergolakan politik dan keamanan situasi Roma dan sekitarnya pada masa itu yang penuh dengan bahaya. Seperti seorang Anastasius misalnya, yang sangat ingin menguasai tampuk kepausan. Ia seringkali melakukan intrik-intrik termasuk upaya melenyapkan nyawa orang-orang di sekitar Joan yang menghalanginya.
Kehidupan karir Joan di Roma semakin gemilang, seperti halnya cinta Joan dan Gerold yang dipertemukan kembali setelah terpisah sekian lama. Prestasinya di dunia akademisi dan keagamaan perlahan-lahan naik. Meskipun konflik-konflik masih sering bermunculan, namun Joan juga dipertemukan dengan orang-orang baik hati seperti Arnalda, yang di kemudian hari menjadi ujung pena yang akan menorehkan tinta sejarah Pope Joan. Kecerdasan Joan yang luar biasa pada ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan dunia pengobatan, membawanya menjadi seorang Paus perempuan pertama yang selama ribuan tahun keberadaannya tidak diakui, bahkan sengaja dihilangkan dari sejarah karena dianggap sebagai penghinaan dan dosa besar.
***
Selain menyuguhkan kisah yang fenomenal, menurut saya Cross juga berhasil menyampaikan banyak hal tentang perempuan, bahwa perempuan juga memiliki peluang yang sama besarnya untuk maju seperti laki-laki. Perempuan juga memiliki hak yang sama dalam pendidikan, sosial, dan kemasyarakatan. Membaca novel ini membuat saya begitu kagum dengan tekad dan kemauan Joan untuk menuntut ilmu. Cross tidak lupa menyisipkan tema cinta di dalam novelnya, seperti laiknya novel dewasa pada umumnya. Meskipun maskulin, Joan juga tetap membutuhkan cinta dan kasih sayang. Lewat tokoh Gerold, perjalanan cinta Joan menjadi lebih hidup. Ada sedih, harapan, kehilangan, yang kesemuanya memancing sisi emosional pembaca. Selain itu, saya pikir Cross juga ingin menyentil sikap sebagian para imam yang terlibat skandal seks, minuman keras, maupun hal-hal yang dilarang agamanya melalui epik ini.
Novel ini berakhir dengan sangat tragis, tapi meninggalkan kesan yang teramat mendalam. Satu hal yang kurang saya sukai adalah adegan-adegan yang cukup vulgar, terutama ketika mengisahkan hubungan cinta antara Joan dan Gerold.
Kebanyakan sejarawan menganggap Pope Joan adalah tokoh fiktif yang lahir dari anti kepausan, tetapi sebagian kalangan percaya bahwa legenda ini benar-benar ada. Di bagian akhir novel ini, Cross menambahkan catatan pengarang tentang kontroversial legenda Pope Joan disertai banyak data dan fakta sejarah yang berkaitan dengan eksistensi Joan, seperti dokumen Liber pontificalis yang kebenarannya masih diperdebatkan, atau sebuah kursi pemeriksaan yang disebut Sella stercoraria untuk memeriksa jenis kelamin Paus yang baru terpilih. Muncul sebuah tanda tanya besar di kepala kita, “Apakah Pope Joan memang ada?”
“Kapanpun kau berjumpa dengan sebuah legenda, kau bisa yakin, jika kau mendalaminya hingga ke dasarnya, kau akan menemukan sejarah.” – Vallet de Viriville (Halaman 718)
Selesai dibaca: September 2009
Wah, dari reviewnya musti punya bukunya ini! 😉