Absen di event Opini Bareng BBI bulan Februari dan Maret, di bulan ini saya tidak ingin absen lagi. Tema di bulan April adalah hubungan dengan pembaca. Kali ini saya terpancing dengan pertanyaan BBI ini dan ingin membahasnya lebih jauh, “Apakah kamu pernah mendapati buku yang pesan moralnya sama sekali bertentangan dengan pendapatmu?”
Yup, pernah. Pembaca lain pun saya yakin pasti pernah juga ‘kan? Entah sudah berapa kali saya mendapati buku, yang saat dibaca, ternyata pesan moralnya bertentangan dengan pendapat saya pribadi. Entah itu berkaitan dengan prinsip, keyakinan atau hati nurani, yang jelas saat membacanya saya merasa geregetan karena tidak setuju dengan buku tersebut.
Salah satu contoh buku yang pesan moralnya bertentangan dengan pendapat saya adalah 1984-nya George Orwell. Di buku distopia tersebut, Orwell menceritakan kondisi Inggris yang dikuasai oleh Partai Buruh yang otoriter, di mana gerak-gerik tiap-tiap warga negaranya diawasi selama 24 jam lewat monitor pengawas, petugas militer, pegawai pemerintah, dan sebagainya. Bahkan, berpikir atau mencoba memikirkan sesuatu yang dilarang pun tak boleh. Tak ada tempat yang bebas pengawasan. Sedikit saja berpikir, memiliki perasaan tertentu atau melakukan hal-hal yang dilarang penguasa, para pelaku akan langsung ditangkap dan ‘hilang’ tanpa jejak. Nah, si tokoh utamanya lantas berusaha untuk sedikit berpikir dan ‘memberontak’ melakukan hal-hal yang dilarang, misalnya seperti membaca, menulis, membeli barang antik, mengkritik pimpinan Partai Buruh lewat buku hariannya, dan hal lain yang ingin dilakukannya tetapi dilarang. Penguasa juga melarang warganya menikah jika disertai perasaan. Jadi, di novel ini, warga menikah haruslah atas persetujuan penguasa, termasuk dengan siapa pasangannya, tanpa keterlibatan emosional. Sampai di sini saya sepakat dengan wacana distopianya Orwell, bahwa tiap warga negara seharusnya memiliki hak untuk berpikir dan bersuara, menentukan langkah hidupnya sendiri, dan pemerintah seharusnya menghargai privasi tiap-tiap warganya.
Masalahnya, salah satu isu yang dibawa Orwell adalah soal seks bebas. Penguasa merasa bahwa perasaan, emosi, atau seks memberi dampak buruk bagi warga karena akan mengarahkan warganya memberontak dan mengancam keberlangsungan kekuasaannya. Tapi, novel ini seakan-akan ingin mengatakan kalau seharusnya siapa saja bebas melakukan apa yang diinginkannya, termasuk seks tanpa ikatan pernikahan. Menurut saya, apakah lantaran segala sesuatunya bebas lantas seks pun bisa dilakukan bebas tanpa hubungan pernikahan? Di sini saya merasa geregetan karena isu ini sangat bertentangan dengan pandangan dan nilai prinsip yang saya yakini. Menurut saya, perilaku seks haruslah disertai dengan ikatan yang sah. Dan jika seks bebas ini dilarang, saya justru sepakat dengan Partai Buruh di novel ini (soal yang lain-lain sih nggak) 😛
Buku lainnya yang salah satu pesan moralnya cukup bertentangan dengan hati nurani saya adalah Of Mice and Men-nya John Steinbeck. Steinbeck sangat apik menceritakan kondisi sosial pada masa-masa depresi Amerika Serikat di novel ini. Secara keseluruhan, pesan moral yang disampaikannya sangatlah bagus. Hanya satu saja pesan moralnya yang saya tidak setuju, yaitu saat ending cerita (maaf kalau agak spoiler sedikit). Di akhir cerita, pergolakan batin George akhirnya membuatnya terpaksa membunuh Lennie, adik kandungnya sendiri yang memiliki keterbelakangan mental. Menurut George, lebih baik dia sendiri yang membunuh Lennie dengan cara yang lebih halus dan tidak sangat menyakitkan daripada para pekerja yang mengeroyok dan membunuh Lennie secara brutal. Wacana yang disuguhkan Steinbeck ini cukup memunculkan perdebatan dalam hati saya. Seharusnya George tidak seperti itu. Seharusnya ada solusi lain tanpa harus membunuh Lennie. Bagaimanapun, membunuh tidaklah tepat.
Begitulah …. Ada banyak hal dari buku bacaan yang kadang-kadang bertentangan dengan hati nurani kita. Saya akui bahwa moral yang disampaikan oleh sebagian buku cenderung pada pilihan abu-abu, bukan hitam, bukan putih. Padahal, hati nurani manusia hanya mengenal hitam dan putih. Hal ini tentunya akan memberikan sensasi yang berbeda ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani.
Buku akan membuat kita lebih mengenal diri sendiri dan pandangan kita, serta pilihan-pilihan yang mungkin saja kita ambil di kemudian hari. Buku akan membuat kita lebih mengetahui bagaimana kita mengambil keputusan. Di sinilah menurut saya hubungan buku dengan pembaca menjadi sesuatu yang saling berkaitan dan akhirnya peran tulisan menjadi sesuatu yang penting. Pembaca yang membaca sebuah buku, ketika menurutnya pesan moral yang disampaikan di buku tersebut tidak sesuai dengan nilai norma umum atau keyakinan, maka salah satu cara untuk melakukan counter adalah lewat tulisan pula. Nggak mungkin ‘kan kita ngomel-ngomel pada bukunya atau penulisnya? Atau kita senewen dan geregetan sendiri sampai uring-uringan? Ya nggak lah. Tulisan dijawab dengan tulisan. Bisa lewat ulasan buku, bisa lewat artikel opini, dan lain-lain. Dari sini, seseorang akan membentuk mata rantai penghubung antara buku, penulis, pembaca dan calon pembacanya.
“You should never read just for ‘enjoyment.’ Read to make yourself smarter! Less judgmental. More apt to understand your friends’ insane behavior, or better yet, your own.” (John Waters)
Err…ini juga abis baca trio musketri agak gregetan juga mbak. Pas bagian D’artagnan memperalat Kitty dan Milady sekaligus, dan di bagian akhir ketika Milady diadili secara “main hakim sendiri”. Hehehe….Buku lainnya yang bikin geregetan belum terpikir sih.
Kalau aku cenderung mengambil ide besarnya sih mbak, masalahnya kalau mau disama-samakan memang sejak awal budayanya sudah ga sama. Kecuali kalau settingnya sama2 di Indonesia, mungkin bisa. Tapi sejauh ini memang banyak yg bikin geregetan sih, dan kadang itu yg bikin ketagihan, karena memperkaya pandangan kita (asal jangan ditiru aja)
@mbak Jenny, Trio Musketri saya belum baca sih, masih di timbunan hehe.
@mbak bzee, yup mbak. Memang gak bisa disamakan/dibandingkan dengan di Indo. Budayanya udah jauh beda. Cuma ide tentang yang saya sebutin itu emang rada bikin gemes sih di dua novel ini. Kalo novel lain kan cuma sebagai bagian dari alur cerita atau adegan. Tapi kalo di novel ini lebih berasa beda aja buat saya, bukan hanya sebatas adegan, tapi saya nangkapnya emang semacam penyuguhan ide/moral. Tapi balik ke awal tadi, memang ga bisa dibandingkan karena budayanya udah beda.
Kalau ide besarnya sih saya suka banget hehe ….