Judul: Kehidupan di Pintu Kulkas
Judul Asli: Life on the Refrigerator Door
Penulis: Alice Kuipers
Alih Bahasa: Rosi L. Simamora
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-4173-0
Tebal: 240 hlm
Tahun terbit: November 2008
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Keluarga, Young Adult
Rating: 4/5
Judul yang menarik, bukan? Kehidupan di Pintu Kulkas. Seperti apa, sih, ceritanya? Awalnya saya agak under estimate dengan label ‘teenlit’ yang terpampang di sampulnya. Yah, tahu sendiri lah, sebagian besar teenlit umumnya ‘kan bercerita tentang romansa muda-mudi. Tapi, begitu saya membaca ulasannya Mbak Luckty, ternyata novel ringan ini bertema keluarga, yang semakin membuat saya tertarik.
Life on the Refrigerator Door bercerita tentang kehidupan seorang remaja bernama Claire dan ibunya sehari-hari. Mulai dari isi kulkas, makanan untuk kelinci mereka, perkembangan di sekolah, bahkan sampai kondisi kesehatan ibunya Claire, semua dapat dengan mudah kita cerna hanya lewat pesan-pesan di pintu kulkas. Yup, itulah uniknya gaya penceritaan novel ini. Bukan lewat narasi-narasi panjang, bukan pula lewat dialog-dialog antar tokoh secara langsung, melainkan lewat pesan demi pesan yang Claire dan ibunya tempelkan di pintu kulkas. Kehidupan mereka terkesan sangat bergegas. Saking jarangnya mereka bertemu, hampir setiap hari, pintu kulkas menjadi sarana paling jitu untuk berkomunikasi antara ibu dan anak tersebut.
Semuanya berjalan lancar seperti hari-hari biasa mereka, sampai suatu ketika, ibunya Claire divonis kanker payudara. Meskipun vonis ibunya sudah tegak, tapi cara komunikasi mereka masih tetap sama. Sesekali mereka memang ngobrol dan bertatap muka, tapi ungkapan perasaan mereka berdua lebih sering diluapkan lewat pesan-pesan di pintu kulkas. Bagaimana akhir kisah mereka berdua?
Novel ini tergolong novel ringan yang benar-benar unik. Keunikannya, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, ada pada gaya penulisannya yang lain daripada yang lain, yaitu dalam bentuk pesan singkat. Jadi, pembaca akan melihat satu pesan di tiap halaman. Pesan-pesan tersebut saling berbalas di halaman berikutnya. Begitulah seterusnya sampai akhir cerita. Meskipun ditulis dalam bentuk pesan singkat, namun perubahan suasana hati, karakter tokoh, dan luapan emosi yang ada di dalamnya dapat dengan mudah saya rasakan. Penulisnya memang hebat. Dan versi terjemahannya ini sangat saya nikmati. Endingnya bahkan berhasil membuat saya menangis. Saya membaca novel ini di dalam angkot, saat pulang-pergi kopdaran BBI-ers Medan bulan lalu. Iya, nangis di angkot, tapi sambil ditahan-tahan dan dihapus-hapus dikit air matanya. Malu! Haha. Yah, ini memang review yang terlambat saya tulis.
Pokoknya cerita dan endingnya keren deh. Mengharukan. Dan ada banyak hikmah yang bisa saya dapatkan dari novel ini, apalagi jika ingat akan ibu saya di rumah. Terkadang, ada banyak hal yang jarang kita ungkapkan pada ibu kita. Ada begitu banyak waktu yang tidak kita habiskan bersama-sama dengannya. Dan terkadang, masih ada ungkapan cinta yang belum sempat terucap atau mewujud dalam bentuk perbuatan terhadap ibu kita. Mengutip dari sampul belakangnya, bahwa cinta berarti menyediakan diri kita bagi orang yang kita cintai.
Ohya, ini adalah novel paling boros kertas yang pernah saya temukan! Bayangkan saja, satu halaman cuma berisi pesan singkat, bahkan meskipun pesan itu cuma satu kalimat pendek saja. Benar-benar boros space! Haha…
“Aku berharap kalau saja kita punya lebih banyak waktu, Mom. Kurasa itulah sebenarnya yang ingin kukatakan padamu. Aku berharap aku punya lebih banyak waktu bersamamu. Tapi aku bersyukur atas waktu yang kita miliki bersama. Sangat bersyukur. Saat aku nanti kembali ke rumah Dad, aku akan melihat-lihat album-album foto kita dan mengenang semua itu.” (halaman 231)
Semoga lewat novel ini, pembaca, khususnya para anak dan ibunya bisa kembali sadar dan memiliki waktu-waktu emas berdua. Novel yang indah. Cocok untuk dibaca oleh remaja putri, para ibu, atau para perempuan di mana pun berada 🙂