sepeda merahJudul: Sepeda Merah
Judul Asli: Red Bicycle
Penulis: Kim Dong Hwa
Alih Bahasa: Meilia Kusumadewi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-8776-9
Tebal: 144 hlm
Tahun terbit: Oktober 2012
Cetakan: Pertama
Genre: Novel Grafis, Fiksi Inspirasional
Rating: 4/5

Sudah lama saya mengharapkan buku ini jatuh ke pangkuan. Dan seperti kejatuhan buah mangga matang dari pohonnya, dua novel grafis Sepeda Merah volume 1 dan 2 ini akhirnya saya dapatkan beberapa bulan lalu dari Mbak Retno di Halaman Moeka, sebelum beliau menutup toko onlinenya. Dua buku indah dengan sampul putih dan gambar si tukang pos dengan sepeda merahnya. Melihat sampulnya saja sudah memberikan nuansa ketenangan bagi saya, bagaimana lagi dalamnya? Dan ternyata tepat seperti dugaan saya, dalamnya pun begitu tenang dan menyejukkan. Duhai…

Novel ini bercerita tentang seorang tukang pos yang begitu mencintai pekerjaannya. Ia kerap mengantarkan surat demi surat ke setiap alamat di desa Yahwari dengan sepeda merahnya. Desa Yahwari memiliki pemandangan yang indah. Hamparan sawah, ladang, sayuran, bunga dan pepohonan senantiasa mengiringi laju sepeda si tukang pos. Daun-daun yang berguguran, Dandelion yang beterbangan, aliran sungai yang menawan, rumah-rumah penduduk yang sederhana namun memberikan kesan ramah seramah penghuninya, membuat tukang pos dan sepeda merahnya merasa sangat nyaman. Setiap mengantarkan surat, ia kerap bertanya dan berbagi kabar kepada para penduduk. Setiap hari, di jalanan yang sama, dengan orang-orang yang sama, sepeda merah melaju menghampiri kehangatan desa Yahwari.

Desa Yahwari memang unik. Penduduknya hampir rata-rata adalah orang-orang yang sudah tua, sudah kakek-nenek. Anak cucu mereka hidup di kota. Meskipun begitu, mereka sangat ramah dan hangat. Tukang pos sering diajak singgah sekadar mencicipi semangkuk sup hangat atau secangkir teh hijau. Penduduk Yahwari rata-rata berprofesi sebagai petani. Mereka menanam sayuran dan buah untuk menghasilkan uang. Kadang-kadang, saat musim panen tiba, jasa si tukang pos juga digunakan untuk mengirimkan hadiah berupa sayuran maupun buah-buahan para penduduk kepada orang-orang yang mereka cintai di desa sebelah.

Yang lebih unik lagi, alamat rumah-rumah di desa Yahwari tidaklah sama seperti alamat kita pada umumnya yang memiliki jalan dan nomor. Alamatnya benar-benar unik! Rumah dengan semak-semak warna khaki, rumah bertepi bunga-bunga liar, rumah kuning dalam kehijauan, rumah yang bisa dilihat di antara dua pohon pinus siam, atau rumah tempat kita merasa semakin baik dan membaik. Itu semua adalah alamat rumah-rumah di Yahwari dan si tukang pos selalu tahu ke rumah mana ia harus mengayuh. Meskipun kini kemajuan teknologi semakin pesat, namun di Yahwari, orang-orang masih berkirim surat lewat kotak pos.

Halaman dalam kisah "Pohon"

Halaman dalam kisah “Pohon”

Halaman dalam Sepeda Merah

Halaman dalam Sepeda Merah

Lewat tukang pos dan sepeda merahnya, pembaca bisa menikmati keindahan dan kehidupan di Yahwari. Tentang seorang kakek yang merindukan cucunya, tentang pasangan suami-istri yang kesepian, tentang harapan-harapan, juga tentang kebaikan dan keselarasan. Karakter grafisnya yang indah, warna-warni yang cantik, serta kata-kata yang mendamaikan, membuat saya jatuh cinta pada cara Kim Dong Hwa menciptakan karya. Saya suka sekali.

“Surat adalah perjalanan mental yang kita renungkan.” (halaman 108)

Novel grafis ini terdiri dari dua volume. Volume pertama berjudul Yahwari, sedangkan volume kedua berjudul Bunga-Bunga Hollyhock, yang keduanya sama-sama menyuguhkan keindahan bagi pembaca, baik dari segi grafis maupun tulisan dan gaya berceritanya. Sederhana, tapi sarat makna. Kita akan banyak merenung saat membacanya. Kita akan belajar mencintai alam dan menjaga keseimbangannya. Kita juga akan belajar menyayangi orang tua, menyantuni para lansia, membantu sesama, dan masih banyak lagi.

“Aku berusaha membuatmu mengerti bahwa umurmu senilai emas dan kau sama sekali tak perlu iri kepada kaum muda. Seiring waktu, aku menyadari bahwa menua itu tidaklah buruk. Kita belajar untuk lebih pemaaf terhadap kehidupan.” (halaman 116)

“Kita mungkin mengira dia bodoh karena tidak pernah mengatakan apa-apa. Tetapi penampilan dapat menjebak. Pohon jelas lebih baik daripada aku.” (halaman 143)

Rasanya cuplikan-cuplikan kisah di dalamnya begitu singkat dan cepat sekali selesai. Rasanya saya ingin melahapnya lebih lama lagi, lebih banyak lagi. Sosok si tukang pos masih ingin saya lihat. Buku yang sangat indah!