lizzie zipmounthJudul: Lizzie Si Mulut-Terkunci
Judul Asli: Lizzie Zipmouth
Penulis: Jacqueline Wilson
Alih Bahasa: Listiana Srisanti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-22-0116-5
Tebal: 96 hlm
Tahun terbit: Januari 2003
Cetakan: Pertama
Genre: Fiksi Anak
Rating: 4/5

Perceraian memang tak mudah. Keluarga baru, suasana baru, kebiasaan baru. Semua itu memang tidak pernah mudah, apalagi bagi seorang anak usia sekolah dasar seperti Lizzie yang diceritakan di novel ini. Ia pernah memiliki ayah tiri. Awalnya semua berjalan menyenangkan, hingga suatu ketika ayah tirinya bersikap kasar padanya dan mamanya. Meskipun mamanya sudah berpisah lagi dengan ayah tirinya, kejadian itu meninggalkan bekas yang mendalam bagi Lizzie sampai-sampai ia trauma memiliki ayah baru lagi.

Sekarang mereka harus meninggalkan flat kecil mereka dan pindah ke rumah baru. Mamanya menikah lagi dengan Sam yang baik hati. Sam memiliki dua anak laki-laki yang juga baik bernama Rory dan Jake. Tapi, berhubung Lizzie sudah trauma dengan ayah tiri, ia menganggap Sam akan sama seperti ayah kandung atau ayah tirinya yang dulu; kasar dan jahat. Ia tak suka pindah ke rumah baru. Ia benci kehilangan waktu-waktu menyenangkan berdua mamanya. Ia berontak diberi kamar baru dengan desain yang tak ia suka. Ia bahkan marah pada mamanya. Maka, untuk menunjukkan ketidak sukaannya dengan keluarga baru itu, Lizzie melakukan aksi tutup mulut. Ia tak berkata sepatah pun meski ditanya oleh seluruh anggota keluarga. Dua saudara tirinya menjuluki Lizzie dengan sebutan Lizzie Zipmouth. Lizzie si Mulut-Terkunci. Hubungan mereka cukup memprihatinkan.

Suatu hari, mereka sekeluarga berkunjung ke rumah neneknya Sam, yang artinya juga nenek buyut Lizzie. Nenek itu sangat cerewet dan galak. Dua saudara laki-laki Lizzie tak menyukai Nenek Buyut. Tapi, di rumah Nenek Buyut, ada begitu banyak boneka di seluruh bagian rumah. Di kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, dan semua boneka menarik perhatian Lizzie. Lizzie ingin sekali melihat dan menyentuh boneka-boneka itu, masih dengan aksi tutup mulutnya. Nenek Buyut sama keras kepalanya dengan Lizzie, bahkan lebih keras kepala lagi! Dan Nenek Buyut kemudian memaksa Lizzie membuka mulut secara paksa dan, tentu saja, dengan galak!

Bagaimana nasib Lizzie? Apakah ia akhirnya membuka mulutnya? Lalu bagaimana hubungannya dengan ayah tirinya Sam dan kedua saudara tirinya?

Seperti buku-bukunya yang lain, Jacqueline Wilson lagi-lagi berhasil membuat saya jatuh cinta dengan karyanya ini. Bahasanya yang enak dibaca, agak baku tapi tidak kaku, santai tapi tidak slank, membuat kepolosan seorang anak kecil berhasil ditampilkannya dengan cara-cara sederhana. Masih menggunakan sudut pandang orang pertama, tema yang diangkat Wilson adalah tentang dampak perceraian dan sebuah keluarga baru bagi seorang anak, apalagi jika itu terjadi berulang kali.

Tema ini sebenarnya sangat banyak kita jumpai di sekitar kita. Bahkan, sebagian besar berakhir menyedihkan. Ada begitu banyak anak yang berasal dari keluarga broken home dan memiliki trauma yang berbeda dengan Lizzie. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa perceraian selalu akan memberi dampak negatif bagi perkembangan jiwa seorang anak. Kedua orangtuanya lah yang seharusnya menyembuhkan itu dengan sikap yang lebih bijaksana. Dan tentunya tidak asal kawin-cerai-kawin-cerai tanpa pertimbangan dan seleksi yang matang sehingga meminimalisir dampak negatif bagi anak jikalau memang harus terpaksa bercerai.

Novel ini memang ditujukan untuk pembaca muda, tetapi tak salah pula bila dibaca oleh para orangtua karena temanya masih seputar parenting dan bagus untuk bahan diskusi atau pembelajaran. Kisah sederhana yang sarat dengan makna. Dua jempol untuk Jacqueline Wilson yang mampu menulis cerita dengan perasaan dan logika anak kecil.